Penulis
-
7
April 2018
148
BincangSyariah.Com
– Salah satu prinsip mendasar gerakan kelompok takfiri ialah
keharusan seorang muslim untuk mengafirkan orang kafir dan musyrik. Menurut
gerakan ini seorang muslim yang tidak mengafirkan orang kafir-musyrik
dikategorikan juga sebagai kafir. Kelompok ini mengklaim dengan sungguh-sunguh
bahwa seorang muslim layak disebut kafir jika dengan sengaja berdiam diri dan
berpangku tangan untuk tidak mengafirkan orang kafir. Bagi mereka, keharusan
mengafirkan orang kafir merupakan sendi keimanan dan keislaman sehingga seorang
muslim yang tidak memegang erat-erat sendi ini akan dipertanyakan validitas
keimanan dan keislamannya bahkan mungkin layak untuk dikafirkan.
Jadi,
menurut pemahaman ini, stempel kafir seolah merupakan alat praktis yang dengan
mudah dapat dilekatkan kepada jidat orang-orang, bahkan mungkin yang tidak
segolongan dengan pendapat ini. Hal demikian lebih diperparah lagi jika proses
menyetempeli jidat orang ini dilakukan dengan mudah, praktis dan gratis tanpa
perlu berbelit-belit dengan birokrasi ijtihad yang ndaqiq ndaqiq (mendalam).
Dengan
stempel ini, si pelaku stempel beserta kawan-kawannya yang satu gerakan
mendapat justifikasi untuk menyerang orang-orang yang dianggapnya telah kafir,
bahkan muslim yang rajin shalat, puasa, zakat dan haji layak dicap stempel ini
jika memang yang mereka taati adalah negara Indonesia yang berdasarkan kepada
hukum thagut ini (Pancasila dan UUD 45).
Singkatnya,
bagi mereka, muslim Indonesia telah kafir dan seorang muslim yang tidak
mengafirkan saudara muslim lainnya yang taat kepada Pancasila maka layak
disebut juga kafir. Parahnya stempel kafirnya tidak main-main diberikan,
mungkin bagi yang taat kepada pemerintahan Indonesia ini, menurut mereka, layak
dilabeli kafir dengan dosis yang cukup tinggi, yang dalam bahasa agama sering
disebut dengan kafir buwwah.
Corak
berpikir seperti ini sebenarnya mudah diklasifikasikan sebagai monoteisme
radikal yang menuntut pemahaman tauhid yang murni tanpa ada ketundukan
sedikitpun kepada hukum buatan manusia. Tunduk sedikit berarti kafir. Taat
sedikit kepada hukum buatan manusia bahkan menuntut hak berdasar hukum buatan
manusia juga kafir. Jelas pemahaman seperti ini amat ekstrim dan tidak akan
menemukan pijakannya di dunia ini.
Mungkin
lebih tepatnya, orang yang berpaham demikian selayaknya hidup di akhirat saja
langsung tanpa perlu panjang-panjang hidup di dunia. Pasalnya, di dunia ini,
yang paling beriman klasifikasinya hanya dia sendiri yang wahdahu la
syarika lahu (yang tanpa sekutu). Jelas berbahaya jika dianut apalagi
jika keimanan model seperti ini berwujud nyata ke dalam aksi-aksi teror yang
justru kebalikan dengan semangat keimanan, keislaman dan keihsanan.
Bagaimanapun
ada yang salah dalam keyakinan seperti ini. Karena itu, kita harus merujuk
langsung bagaimana sebenarnya Nabi sebagai pemegang kendali kebenaran dari
Allah mendefinisikan mukmin dan non-mukmin, muslim dan non-muslim serta muhsin
dan non-muhsin dengan catatan bahwa yang kedua merupakan istilah yang lebih
halus dari kafir-musyrik-munafik-murtad dan seterusnya.
Bagaimana
Nabi mendefinisikan mukmin dan non-mukmin? Dalam hadis yang dikemukakan Ibnu
Taymiyyah dalam kitab al-Iman, Nabi SAW bersabda: “Demi Allah orang
itu tidak beriman! Demi Allah orang itu tidak beriman.” Beliau ditanya: “Siapa,
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari
ucapan tak terkendalinya!” Beliau ditanya lagi: “Apa itu ucapan tak
terkendalinya?” Beliau menjawab: “Ucapannya yang jahat dan menyakitkan.”
Dalam
kesempatan lain, Nabi SAW juga bersabda: Demi Dia (Allah) yang diriku ada di
tangan-Nya, kamu sekalian tidaklah masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu
sekalian tidaklah beriman sehingga kamu saling mencintai. Maukah kamu aku
tunjukkan sesuatu yang kalau kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Sebarkan
salam-perdamaian antara sesamamu! Dalam kesempatan lain juga, riwayat Ibnu
Hibban dan at-Turmudzi, Nabi SAW mendefinisikan orang mukmin dengan sabdanya:
“seorang mukmin bukanlah pelaknat, bukanlah pelaknat, bukanlah yang berbuat
keji dan berkata-kata sembarangan”
Secara
implisit dalam dua hadis ini, Nabi mendefinisikan seorang mukmin sebagai orang
yang berbuat baik kepada tetangganya, taat kepada ketentuan etika dan
moralitas, menumbuhkan cinta, memberikan rasa saling aman dan damai, dan
yang terpenting, seorang mukmin ialah seseorang yang beridentitas anti
melaknat, anti mengumbar kata-kata sembarangan dan anti melakukan perbuatan
keji. Dengan demikian, seorang mukmin yang tahu bahwa dirinya mukmin tentunya
memahami betul semangat menjadi beriman yakni semangat memberi rasa aman (amn)
dan semangat mempunyai kredibilitas akhlak/dapat dipercaya (amanah).
Jadi semangat keimanan ialah semangat anti-kerusakan, anti-kekisruhan dan
anti-penebar teror apapun alasannya.
Jika
ada sebagian mukmin yang mengumbar laknat (sebut saja mengafirkan yang tidak
segolongan), membuat kerusakan (mengebom gereja, mesjid dan lain-lain),
menimbulkan kengerian terhadap sesama, maka, kata Nabi sendiri dalam hadis di
atas, mereka tidak beriman. Implikasi dari tidak beriman, ya “kafir”, kenapa
demikian? Karena dilihat dari tingkah laku dan perangainya, jelas-jelas mukmin
tipe demikian tidak memperhitungkan adanya Tuhan yang selalu mengawasinya.
Dengan kata-kata lain, mukmin yang berperilaku kebalikan dari label yang
diembannya dapat disebut sebagai ‘ateis terselubung/tersamar’.
Makna
ini juga semakin dipertegas oleh definisi Nabi terhadap identitas orang yang
disebut sebagai muslim. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim
dan beberapa ahli hadis lainnya, Nabi dengan tegas mendefinisikan seorang
muslim sebagai: al-muslim man salima al-muslimun min yadihi wa lisanihi “orang
yang mampu menjaga lidah dan tangannya untuk tidak menyakiti sesama.”
Definisi
ini sangat jelas. Jadi, seorang yang mengaku sebagai muslim sejati namun
kata-kata yang sering keluar dari lidahnya hanya label-label kafir, kafir dan
kafir kepada sesama serta implikasi dari kata-kata ini terhadap perilakunya
(seperti menyerang orang-orang sesama muslim), maka dengan sendirinya dia
ditegaskan oleh redaksi hadis Nabi di atas sebagai bukan seorang muslim tapi
apa?
Ya
apalagi kalau bukan ‘kafir’. Belum lagi kemudian dipertegas oleh kenyataan
bahwa menghina dan memerangi muslim disebut juga sebagai tindak kefasikan dan
tindak kekufuran. Hal demikian seperti yang disabdakan oleh Nabi SAW sendiri
dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim: sibab al-muslim fusuq wa qitaluhu
kufr ‘menghina sesama muslim merupakan tindak kefasikan sedangkan
memeranginya ialah tindak kekafiran.’
Definisi
mukmin dan muslim pada beberapa hadis di atas jelas tidak hanya menekankan
esensi tauhid atau hubungan baik kita dengan Allah tapi juga menekankan
hubungan baik kita dengan manusia. Sekelompok teroris yang serba mengafirkan
orang hanya kuat di hubungannya dengan Allah semata (mungkin jika benar memang
keyakinannya, mereka adalah orang-orang yang bertauhid secara radikal) namun
kurang menjalin hubungan baik dengan manusia. Padahal Islam dengan jelas-jelas
menekankan keimanan dan keislaman seseorang tidak melulu yang bersifat tauhid
namun juga soal akhlak antar sesama.
Aksi-aksi
pembunuhan mereka terhadap manusia-manusia muslim dan non-muslim yang mereka
anggap telah kafir hampir mirip dengan para pemuja berhala di zaman dulu yang
demi untuk memuja sesembahannya dan mendapat keridoannya, mereka mengorbankan
manusia-manusia lainnya. Dengan pola yang sama, para teroris secara tak sadar
juga mengadopsi cara-cara pemujaan demikian.
Mereka
mengorbankan manusia-manusia tak bersalah untuk dibom dan diperangi agar dapat
dipersembahkan kepada berhala keyakinan palsu mereka yang berkedok tauhid.Jadi
dengan dalih sikap yang terlampau tauhid seperti ini justru mereka secara tak
sadar terjebak ke dalam pemujaan hasrat membunuh dan memerangi. Memandang diri
sebagai pusat kebenaran jelas sama saja dengan menandingi (andad ‘tandingan-tandingan’)
Allah sebagai sumber kebenaran.
Selain
itu, dengan sikap seperti ini justru mereka dapat dikategorikan sebagai
orang-orang non-muhsin. Ingat bahwa pengejawantahan keimanan dan keislaman
seseorang terletak kepada ihsan atau tidaknya dia dalam praktik kehidupan
sehari-hari. Ihsan berasal dari kata hasanah yang artinya kebaikan dan
kebajikan. Sedangkan ihsan sendiri menurut Ibnu al-Mandzhur ialah an
tu’tiya ghoiraka khoirun min an yu’tiyahu ilaika ‘memperlakukan orang
lain secara lebih baik dibanding perlakuan mereka terhadap kita’.
Jadi
intinya seorang mukmin-muslim harus melakukan yang terbaik bagi kehidupan ini,
bukan malah melakukan tindakan-tindakan kerusakan. Jadi yang dilakukan teroris
itu sangat jauh dari definisi mukmin-muslim-muhsin yang dijelaskan Nabi. Karena
itu, lewat kacamata hadis-hadis Nabi di atas, apa yang mereka lakukan justru
telah membatalkan keimanan, keislaman sekaligus keihsanannya.
Namun
demikian, layakkah mereka kita sebut kafir? Allahu a’lam, menilai
keimanan, keislaman dan keihsanan seseorang itu bukan hak prerogratif kita tapi
itu termasuk urusan Allah. Kita sebagai umat Islam seharusnya tidak merebut hak
prerogatif Allah ini. Merebut dan menggunakan hak prerogatif Allah sama saja
dengan menjadikan diri kita sebagai tandingan-tandingan Allah. Dengan
demikian, tindakan seperti ini sama saja dengan salah satu bentuk kemusyrikan.
Lalu
bagaimana dengan kelompok takfiri yang selalu merebut hak prerogatif Allah?
Musyrikkah mereka? Allahu A’lam. Sekali lagi kita tidak boleh
mengukur, menilai dan menghakimi kadar keimanan, keislaman dan keihsanan
seseorang karena dengan begitu kita justru akan menandingi Allah dan
membatalkan keimanan kita sendiri. Na’udzu billah.
source
0 comentários: