Akhir-akhir ini suara-suara untuk menegakkan syariat Islam
secara keseluruhan kembali mencuat. Seruan ini disertai dengan usaha-usaha
untuk menyebarkan ideologi kekhilafahan Islam sebagai dasar negara menggantikan
Pancasila dan UUD 45.
Bagi
mereka, Pancasila dengan lambang burung Garudanya merupakan salah satu jenis
kemusyrikan dan bahkan layak disebut thagut. Jelas pemikiran seperti ini
merupakan hasil pembacaan yang nominalis, pembacaan yang fokus kepada nama,
bukan semangat yang dikandung nama tersebut.
Dalam
Pancasila, tidak ada sila-sila yang dapat menjerumuskan ke dalam sistem
kesyirikan atau ke-thagut-an. Coba perhatikan baik-baik lima sila dalam
Pancasila. Semuanya merupakan pesan-pesan yang bersesuaian dengan nilai
universal Islam.
Bagi
kita yang akrab dengan pemikiran al-Ghazali, as-Syatibi, Izzudin bin Abd Salam,
al-Qaffal, Ibnu Asyur, Allal al-Fasi, ar-Raysuni dan lain-lain, ketika
membandingkan semangat nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 45 dengan
nilai-nilai universal Islam lewat kacamata pemikiran mereka, niscaya kita akan
sampai kepada kesimpulan bahwa kedua dasar negara ini sesuai dengan maqasid
syariah.
Sila
pertama, ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Sila ini dulu menjadi perdebatan yang
hangat di kalangan pendiri bangsa. Dulu sebutannya ialah ‘ketuhanan dengan
menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ atau sering juga disebut
sebagai Piagam Jakarta. Namun karena ada ketidaksetujuan di sana-sini, sila ini
kemudian diubah menjadi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa’.
Jika
dibandingkan antara redaksi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan redaksi ‘ketuhanan
dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, ternyata yang lebih
bernilai tauhid atau yang lebih bersemangat keesaan Tuhan ialah yang pertama.
Sedangkan yang kedua, penyebutan ketuhanan, apalagi dengan t kecil, tidak
menekankan makna tauhid yang sebenarnya.
Karena
itu, sila yang sekarang digunakan jelas sangat bersesuaian sekali dengan
semangat kemahaesaan Tuhan yang digaungkan dalam berbagai ayat-ayat al-Quran.
Hal demikian misalnya dapat dilihat pada beberapa ayat seperti QS. An-Nisa: 36,
QS. al-An’am: 151, QS. an-Nur: 55, QS. Yusuf: 40, QS. Ali Imran: 64 dan masih
banyak lainnya. Semua ayat ini mengandung arti perintah selalu untuk mengesakan
Tuhan. Sementara itu musuh utama kemahaesaan Tuhan dan keserbamutlakannya ialah
sikap mengesakan suatu pendapat sebagai satu-satunya kebenaran dan sikap
memutlakkan yang seharusnya tidak berhak dimutlakkan. Gerakan
mengkafir-kafirkan orang hanya karena berpaham Pancasila jelas merupakan lawan
dari semangat tauhid.
Sila
kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika kita menolak semangat yang
terkandung dalam sila kedua dari Pancasila ini, berarti dengan sendirinya kita
menolak menjalin hubungan baik dengan manusia secara beradab dan berakhlak.
Konsekwensi logisnya, kalau kita menolak berhubungan baik dengan manusia,
sebutan yang pas untuk kita ialah manusia tak bermoral, barbar dan
biadab. Na’udzu billah!Dalam al-Quran, banyak sekali ayat-ayat yang
berbicara mengenai posisi manusia dan kemanusiaan. Hal demikian misalnya
seperti yang dapat kita perhatikan pada QS. At-Taghabun: 3, Hud: 61, Ibrahim:
32-34, Luqman: 20, ar-Rahman: 3-4, al-Hujurat: 13, al-Maidah: 32 dan lain-lain.
Membunuh
manusia hanya karena alasan mereka kafir, musyrik menurut pandangannya jelas
sangat bertentangan dengan ayat ini. Nabi saja diutus untuk menyempurnakan
akhlak manusia agar mereka menjadi manusia seutuhnya. Jika ada seorang muslim
yang tidak memiliki sifat perikamanusiaan, maka dia bertentangan dengan
al-Quran dan hadis nabi. Dalam hadis-hadisnya, Nabi sering mendefinisikan
seorang muslim sebagai man salima al-muslimun min yadihi wa lisanihi “orang
yang mampu menjaga lidah dan tangannya untuk tidak menyakiti sesama.” Jadi
orang yang tidak menjaga lidah dan tangannya, dalam definisi hadis Nabi ini,
layak disebut sebagai bukan muslim. Artinya sebagai manusia muslim kita harus
berperikemanusiaan.
Sila
ketiga, persatuan Indonesia. Dalam al-Quran, persatuan merupakan prinsip
terpenting dalam membangun komunitas. Dalam al-Quran, ditemukan banyak sekali
anjuran untuk bersatu dan kecaman terhadap perpecahan. Bahkan persatuan disebut
al-Quran sebagai tali Allah. Hal demikian seperti yang dapat kita lihat
pada QS. Ali Imran: 64, 102-107. Semangat persatuan juga dapat kita
temukan dalam beberapa ayat al-Quran seperti dalam QS. al-An’am: 153, QS.
ar-Rum: 30-32, QS. al-Bayyinah: 1-5 dan lain-lain. Di dalam prakteknya di
negara Madinah, Nabi menjalin persatuan dengan kelompok-kelompok sosial dari
kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, dan kalangan orang musyrik seperti
Bani Khuza’ah, Bani Juhainah dan lain-lain yang kemudian dikenal sebagai Piagam
Madinah.
Nabi
mengajak semua elemen masyarakat untuk bersatu jika kemudian diserang oleh
pihak musuh, yakni kaum Musyrik Quraish. Jika dengan kelompok non-muslim saja
Nabi menjalin persatuan di negara Madinah, seharusnya umat Islam juga bersatu
padu dan bahu membahu dalam kebaikan dengan kelompok selain mereka. Indonesia
dengan berbagai macam suku, agama, budaya mampu menyatukan elemen-elemen
masyarakat. Dalam perspektif Islam, Indonesia telah mengamalkan semangat
al-Quran dan sunnah Nabi untuk menjalin dan menjaga persatuan dari tataran
terkecil sampai tataran terbesar.
Jika
menolak sila persatuan dan semangatnya ini, berarti dengan sendirinya
kita mendukung perpecahan dan kerusakan dan itu artinya kita dapat pula disebut
sebagai pembuat keonaran dan pemecah belah umat. Jadi banyak sekali ayat-ayat
al-Quran yang memerintahkan kita untuk bersatu.
Sila
keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan. Semangat yang terkandung dalam sila ini ialah
semangat untuk melawan segala bentuk tirani yang terejawantahkan ke dalam
sistem totalitarianisme dan otoritarianisme dalam pemerintahan. Semangat
melawan tirani ini jelas semangat yang quranik, karena Islam menolak
dengan tegas kekuasaan yang terpusat kepada individu atau segelintir elit
tertentu. Kekuasaan yang terkumpul pada satu individu tertentu sangat rawan
untuk disalahgunakan dan rawan dari kekeliruan dalam mengambil keputusan dan
kebijakan. Dalam al-Quran ilustrasi tentang pemusatan kekuasaan dan kebenaran
hanya pada satu sosok tertentu terletak pada model kepemimpinan Fir’aun.
Untuk
menghindari itu, al-Quran membuka kanal berupa musyawarah dan pembagian tugas
dan wewenang (kullukum ra’in) sebagai solusi agar kekuasaan tidak
terpusat kepada satu sosok pemimpin. Nabi dalam QS. Qaf: 45 sering disebut
sebagai wa ma anta alayhim bi-jabbar “Kamu bukanlah tipe orang
yang bertindak semena-mena terhadap mereka” dan dalam QS. al-Ghasyiyah: 22
sebagai lasta alayhim bi-musaytir “Kamu bukanlah tipe orang yang otoriter”.
Dua ayat ini cukup untuk dijadikan rujukan bahwa dalam Islam, tipe kepemimpinan
yang otoriter sangatlah dilarang. Ditambah lagi dengan penegasan untuk selalu
bermusyawarah seperti yang dapat dilihat pada QS. al-Baqarah: 233, Ali
Imran: 159 dan as-Syura: 38 dan semangat pembagian kerja atau perwakilan
seperti yang dapat kita temukan pada QS. an-Nisa: 35 dan QS. Yusuf: 55.
Jika
kita menolak sila keempat dari Pancasila ini, berarti dengan sendirinya kita
menolak sistem perwakilan dan musyawarah serta mendukung sistem otoriter dan
itu artinya kita mengadopsi sistem otoritarianisme yang kufur. Semangat
perwakilan dan
Sila
kelima, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika mereka menolak Pancasila,
berarti mereka mengabaikan keadilan dan membela kezaliman. Sila kelima dalam
Pancasila sangat menjunjung tinggi keadilan, semangat yang selalu digaungkan
al-Quran dalam berbagai ayat-ayatnya. Dalam al-Quran, menjunjung tinggi
keadilan merupakan bentuk amal yang dekat dengan ketakwaan. Ayat-ayat yang
berbicara mengenai keadilan dapat dilihat pada QS. An-Nisa: 58, 135, al-Maidah:
8, al-An’am: 152-153, al-A’raf: 29, Hud: 84-86 dan lain-lain.
Lebih
jauh lagi, jika kita menolak UUD 45 yang bersemangat anti-penindasan dan
penjajahan, berarti dengan sendirinya kita pro-penindasan dan pro-penjajahan.
Jika demikian halnya, sebagian kita yang melakukan aksi-aksi penindasan yang
mengatasnamakan Islam sebenarnya merupakan musuh Islam yang nyata dan musuh
bagi Indonesia yang islami ini. Dengan pendasaran teologis terhadap
Pancasila dan UUD 45 melalui semangatnya yang sangat quranik, jelaslah bahwa
tidak tepat jika kedua dasar sistem kenegaraan kita ini dianggap sebagai tidak
Islami.
Meski secara
nama, Pancasila dan UUD 45 tidak ada dalam al-Quran dan as-Sunnah, namun
seperti yang ditegaskan imam al-Ghazali, yang islami itu bukan sekedar
yang ma nataqa an-nash ‘apa yang ada dalam al-Quran dan
Sunnah’ tapi lebih dari itu, yakni, yang ma wafaqa as-syar’a ‘yang
sesuai dengan semangat syariat’. Pandangan ini cukup untuk membantah keyakinan
bahwa semua hukum buatan manusia itu produk kekufuran. Selagi hukum tersebut
bersesuaian dengan syariat, tidak menghalalkan yang haram dan tidak
mengharamkan yang halal, maka jelas Pancasila dan UUD 45 sangatlah islami.
Singkatnya,
siapa pun orangnya dan apapun pahamnya yang tegas-tegas menolak keesaan Allah,
menentang kemanusiaan, memecah belah persatuan, mengadopsi otoritarianisme dan
menghancurkan sendi-sendi keadilan itulah thagut sebenarnya.
Jika jaringan teroris yang mengatasnamakan Islam melawan ini semua, bukankah
dengan sendirinya mereka itu salah satu thagut yang harus kita
perangi? Wallahu a’lam.
0 comentários: