Social Share Icons

Mengkaji Dalil Penegakan Khilafah dalam Alquran




BincangSyariah.Com – Sebagian kelompok mengklaim bahwa dalam konteks bernegara, Islam mengamanatkan sistem pemerintahan berupa khilafah Islamiyyah. Pandangan demikian, antara lain mengacu pada ayat-ayat al-Quran yang secara redaksional menyebut kata khalifah dan berbagai derivasinya.
Namun pertanyaannya, benarkah al-Quran berbicara tentang sistem pemerintahan berupa khilafah Islamiyah? Apa makna kata khalifah dan berbagai derivasinya dalam al-Quran? 
Dalam tradisi kesarjanaan modern, persoalan ini telah mendapat perhatian cukup serius dari para pemikir Muslim seiring dengan banyaknya wacana penegakkan khilafah dari berbagai kelompok. Kamaruddin Khan misalnya, sebagaimana dikutip Ainur Rafiq dalam bukunya Membongkar Proyek Khilafah, dengan sangat meyakinkan menyatakan bahwa konsep negara sama sekali tidak ada dalam al-Quran. Meskipun term khalifah kerap dijumpai di dalamnya, namun tak sekalipun digunakan dalam pengertian politik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Husein Haikal. Ia menegaskan,—sebagaimana juga dikutip Ainur Rafik dalam buku yang sama,— bahwa prinsip-prinsip dasar menyangkut kehidupan sosial yang terekam dalam al-Quran tidak memiliki hubungan langsung dengan sistem pemerintahan. Dengan perkataan lain, ia seolah ingin mengatakan bahwa dalam konteks bernegara, Islam hanya menyajikan seperangkat nilai-nilai moral-etik sebagai panduan yang dapat dipedomani dalam kehidupan bernegara, tanpa menentukan apa lagi mewajibkan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya.
Selain itu, Muhammad Imarah, seorang ulama kontemporer berkebangsaan Mesir, dalam kitabnya al-Islam wa Falsafah al-Hukm menegaskan bahwa term khalifah dan berbagai derivasinya banyak dijumpai dalam sejumlah ayat al-Quran, salah satunya terrekam pada QS. Shad: 26 sebagai berikut:
يَادَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

Artinya: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Secara redaksional, pada ayat di atas terdapat kata khalifah. Kendati demikian, menurut Muhammad Imarah, kata khalifah yang terrekam pada ayat ini sama sekali tidak mengandung konotasi politik sebagaimana pada masa belakangan, yakni pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. Makna khalifah pada ayat tersebut ialah kekhalifahan yang diberikan langsung oleh Allah kepada Nabi Daud yang berarti kenabian (al-Nubuwah), bukan kekhalifahan berupa jabatan politik (al-Wadzifah al-Siyasiyah) yang diberikan manusia.
Tak hanya itu, beberapa ayat lainnya yang coba disoroti oleh Muhammad Imarah antara lain: QS. Al-Nur: 55, QS. Fathir: 39, QS. Al-A’raf: 129, dan QS. Al-An’am: 133. Pada ayat-ayat tersebut, terdapat redaksi istakhlafa, yastakhlifu, dan khalaif, yang semuanya merupakan satu akar dengan redaksi khalifah. Namun demikian, menurut Muhammad Imarah, makna khalifah pada ayat-ayat tersebut ialah kekhalifahan yang diberikan langsung oleh Allah kepada setiap individu manusia sebagai mandat agar memakmurkan bumi, bukan kekhalifahan berupa jabatan politik yang diberikan oleh manusia dan hanya terbatas pada seorang penguasa atau kepala negara.
Muhammad Imarah juga mengatakan, dalam kaitannya dengan kepala negara atau penguasa pemerintahan, al-Quran tidak menggunakan term khalifah untuk menyebut seorang penguasa, melainkan term ulil amr. Term ini, menurutnya, telah digunakan pada masa paling awal dalam tradisi Arab Islam. Term ini terrekam pada QS. Al-Nisa: 59 sebagai berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amr di antara kamu.”
Selanjutnya, masih terkait persoalan term khalifah, khilafah dan berbagai derivasinya, bahwa al-Quran sendiri tak sekalipun merekam term “khilafah” secara langsung. Namun anehnya, beberapa ayat yang secara redaksional satu akar dengan term khilafah seringkali dipaksa dan dipelintir maknanya sedemikian rupa oleh kelompok tertentu sebagai legitimasi mendirikan khilafah Islamiyyah.
Padahal, sebagaimana ditegaskan di atas, term khalifah dalam al-Quran sendiri tak sekalipun mengandung konotasi politik sebagai penguasa atau kepala negara dalam sistem pemerintahan khilafah Islamiyah.
Namun demikian, penting dikemukakan di sini bahwa ketiadaan konsep negara dalam al-Quran, baik dalam bentuk khilafah Islamiyah dan lain sebagainya, tidak serta merta menafikan komprehensifitas ajaran Islam. Sebagaimana ditegaskan Nahdlatul Ulama (NU), bahwa sebagai agama yang komprehensif (din syamil), Islam tidak mungkin melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya. Kendati tidak dalam konsep yang utuh, Islam telah memberikan prinsip-prinsip dasar (al-Mabadi al-Asasiyah) yang dapat menjadi panduan bagi umatnya dalam bernegara.
Halini senada dengan pendapat sejumlah kalangan, bahwa dalam konteks bernegara, Islam hanya menyajikan nilai-nilai universal semisal adil (al-adalah), musyawarah (al-Syura), amanah (al-amanah) dan lain sebagainya tanpa menentukan sistem atau model pemerintahan tertentu.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dikatakan bahwa klaim sebagian kelompok menyangkut kewajiban mendirikan khilafah Islamiyah sebagai sistem pemerintahan, sama sekali tidak memiliki argumentasi teologis yang kuat dalam teks-teks suci al-Quran. Wallahu a’lam.

source

0 comentários: