Oleh M.
Kholid Syeirazi
Program
Harbi Pohantun (Akademi Militer) Ittehad-e Islami berhasil meluluskan 200 orang
dari target 300, sebagian kelak menjadi tokoh-tokoh penting Jamaah Islamiyah,
dan terlibat sejumlah aksi teror seperti Bom Natal dan Bom Kedutaan Filipina
tahun 2000, Bom Bali tahun 2002, dan Bom JW Marriot tahun 2003.
Di
antara alumni Harbi Pohantun adalah Aris Sumarsono alias Zulkarnaen (angkatan
I/1985), Ahmad Roihan alias Sa’ad (angkatan I/1985), Ali Ghufron alias Mukhlas
(angkatan II/1986), Muhaimin Yahya alias Maulawi Zaid (angkatan II/1986),
Thoriquddin alias Hamzah alias Abu Rusdan (angkatan II/1986), Imam Baihaqi
alias Musthopa (angkatan II/1986), Adi Suryana alias Muhammad Qital (angkatan
II/1986), Encep Nurjaman alias Hanbali (angkatan IV/1987), Fihiruddin alias Abu
Jibril (angkatan IV/1987/tidak tamat), Muchliansyah (angkatan IV/1987/tidak
tamat), Taufik alias Huzaifah (angkatan V/1987), Farihin alias Ibnu (angkatan
V/1987), Nasir Abas alias Sulaiman (angkatan V/1987), Usman alias Abas
(angkatan V/1987), Zuhroni alias Nu’aim (angkatan V/1987), Suranto alias Umair
alias Abdul Ghoni (angkatan VII/1987), Ainul Bahri alias Abu Dujana (angkatan
VII/1987), Jabir (angkatan VII/1987), Fathurohman al-Ghozi (angkatan
VIII/1999), Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Bara (VIII/1999), Abdul Aziz
alias Qudama alias Imam Samudera (IX/1999), Ali Imron alias Ziad, adik kandung
Ali Ghufron alias Mukhlas (angkatan IX/1990), Abu Syeikh alias Umar Patek
(angkatan IX/1990), dan Indrawarman alias Toni Togar alias Abu Ubaidah
(angkatan X/1991). Sungkar dan Ba’asyir sendiri alumni Harbi Pohantun program
takhasus enam bulan pada 1987. Program ini bertujuan memberikan
pelatihan-pelatihan perang secara cepat, diadakan di Kamp Kheldan milik Syeikh
Abdullah Azzam. Alumni lain program takhasus adalah Abdul Matin alias Dulmatin,
penggagas utama Lintas Tanzim Aceh.
Mereka
diberi kesempatan praktik perang di medan tempur bersama mujahidin Afghanistan,
antara lain pada pertempuran Joji, tempat mereka bertemu dengan Usamah bin
Laden, jutawan Arab Saudi yang ikut perang membela Afghanistan dan mendirikan
kamp Musa’adah al-Anshar.
Di
Harbi Pohantun, para siswa bukan hanya mendapatdiklat kemiliteran, tetapi juga
doktrin-doktrin salafi dalam materi akidah, fikih, tafsir, hadis dan fikih
jihad. Jihad dalam pengertian baru yang mereka terima adalah fardlu: fardlu
‘ain untuk jihad bela diri (jihâd difâ’i) dan fardlu kifâyah untuk jihad
ofensif (jihâd hujûmî). Tidak ada pengertian lain di dalam Al-Qur’an tentang
jihad selain qitâl (perang fisik). Hadis tentang ‘jihad kecil’ (perang fisik)
dan ‘jihad besar” (perang melawan hawa nafsu) adalah palsu. Syeikh Abdullah
Azzam—yang mengajar di Harbi Pohantun—menegaskan bahwa ayat-ayat Makkiyah atau
Madaniyah yang menyebut jihad di luar makna qitâl telah di-nasakh oleh
ayat-ayat pedang (âyâtus saif), terutama oleh QS. Taubah/9 ayat 5 dan 36
(Azzam, 1994: 76).
Azzam
juga membenarkan terorisme (irhâbiyah) dan menyebut terorisme sebagaiperintah
agama untuk menggentarkan musuh-musuh Islam. Dalam salah satu ceramahnya yang
viral, Azzam memberikan pernyataan kontroversial:
نحن إرهابيون
والإرهاب فريضة ، ليعلم الغرب والشرق اننا إرهابيون واننا مرعبون (واعدوا لهم ما استطعتم
من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدو الله وعدوكم). فالإرهاب فريضة في دين الله.
“Kami
adalah teroris dan teror itu wajib, agar orang Barat dan Timur tahu bahwa kami
teroris (adalah ayat): (Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk
meneror/menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian/QS. Al-Anfal/8: 60). Maka
teror adalah wajib dalam agama Allah. ”
Di
Afghanistan inilah terbentuk ideologi salafi-jihadi. Salafi karena menghendaki
purifikasi tauhid dan syariah. Jihadi karena menekankan kewajiban jihad dan
jihad tidak punya makna lain selain qitâl. Jihad berlaku bukan hanya terhadap
kâfir harbî, tetapi juga penguasa murtad yang menolak memberlakukan syariat
Islam. Doktrin-doktrin jihad Ibn Taimiyah, Sayyid Quthb, dan Abdus Salam
Farag—pentolan Jamâah Jihâd, penulis buku al-Farîdlah al-Ghâibah—memberi
pengaruh kuat. Generasi baru jamaah DI/NII produk Harbi Pohantun ini kelak
cekcok dalam paham agama dengan generasi DI/NII produk Gunung Cupu. Mereka
adalah bekas pelaku Komando Jihad yang bebas dari penjara dan kemudian mencoba
mereorganisasi jama’ah.
Setelah
aparat menggulung jaringan usrah Jakarta pada 1986, atas inisiatif Ujang
Baharudin, tokoh DI Lampung, konsolidasi diadakan di Lampung pada 4 November
1987 dan mengangkat Ajengan Masduki sebagai Imam baru Jamaah DI/NII. Ajengan
Masduki adalah tokohtua DI/NIIgenerasi Gunung Cupu, bekas Bupati DI/NII
Tasikmalaya, anggota Dewan Fatwa DI/NII pada masa Adah Djaelani. Rapat Majelis
Syura juga mengangkat Abdullah Sungkar sebagai Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi
(KUKT) Luar Negeri dan Abu Bakar Ba’asyir sebagai Menteri Kehakiman.
Sungkar-Ba’asyir
semula bai’at terhadap kepemimpinan Ajengan Masduki dan bahkan sempat mengantar
Sang Imam bertolak ke Afghanistan pada 1988menemui Syeikh Rasul Sayyafuntuk
meminta bantuan senjata bagi perjuangan DI/NII. Namun, hubungan baik
Sungkar-Ba’asyir dengan Imam baru DI/NII ini berlangsung singkat.
Sebagaimana
SM Kartosoewirjo, Ajengan Masduki adalah pengamal tarekat. Pengikutnya juga
tertarik dengan dunia mistik Islam, sesuatu yang dianggap sesat dalam paham
salafi. Sungkar beberapa kali mencela kecenderungan mistik Sang Imam, tetapi
Ajengan bergeming. Akhirnya, dibumbui isu transparansi keuangan dan loyalitas,
Sungkar dan Ba’asyir infishâl, memisahkan diri dari Ajengan Masduki pada 1992
dan membentuk organisasi baru bernama Jamaah Islamiyah(JI) pada 1993. Sungkar
menjadi Amir Jamaah, dibantu Majelis Qiyadah Markaziah (Majelis Pimpinan Pusat)
dan Majelis Qiyadah Mantiqi (Majelis Pimpinan Wilayah).
Pasca
pembentukan JI, para kader DI/NII di Afghanistan diberikan pilihan: mereka akan
dipulangkan ke Indonesia/Malaysia kalau memilih loyal kepada Ajengan Masduki
atau tetap tinggal di Afghanistan jika ikut JI. Sebagian besar alumni
Afghanistan memilih ikut JI. Setelah infishâl, DI/NII pimpinan Ajengan Masduki
tak lagi aktif sebagai gerakan makar, terlebih ketika pindah kepemimpinan ke
Abu Toto Abdus Salam alias Panji Gumilang. Toto alumni Gontor, bekas aktivis
GPI. Ketika Adah Djaelani bebas tahun 1994, dia menunjuk Toto sebagai
penggantinya pada 1997. Suksesi imâmahke Toto ditolak kubu Ajengan Masduki
karena dinilai tidak sesuai pedoman. Rahmat Tahmid Basuki, anak SM
Kartosoewirjo, juga menolak. Namun, Toto paling kuat dalam jaringan dan dana.
Tahun 1998, Toto mendirikan Pesantren Al-Zaytun di atas tanah seluas 1. 200
hektar. Duitnya berasal dari sumbangan penguasa dan pejabat, selain dari
pungutan anggota atas nama perjuangan. Di bawah Toto, pusat NII bergerak ke
KW-IX, bermarkas di pesantren megah Al-Zaytun, Haurgeulis, Indramayu. Rekrutmen
kader NII masihjalan, namun bukan lagi untuk mengobarkan ideologi jihad melawan
NKRI, melainkan mengumpulkan duit untuk kepentingan Sang Imam dan yayasannya
atas nama perjuangan.
Di sisi
lain, JI pimpinan Sungkar-Ba’asyiraktif merekrut kader-kader jihadis, terutama
dari 15 pesantren yang didirikan para tokoh salafi-jihadi. Kader yang
terseleksi dilatih di Kamp Hudaibiyah Mindanao, kamp latihan militer milik MILF
(Moro Islamic Liberation Front) yang diserahkan ke JI sejak 1997. Para
instrukturnya adalah alumni Afghanistan seperti Nasir Abas, Imron Baihaqi alias
Musthopa, Thoriqudin alias Hamzah, Muhaimin Yahya alias Maulawi Zaid, dll.
Dalam waktu dua tahun (1998-2000), diklat militer berhasil meluluskan 170-an
kader JI dari Malaysia dan Indonesia. Sebagian lain dikirim mengikuti tadrîb
‘askarî di Mu’askar al-Farûq milik al-Qaeda di Afghanistan. Selama dua tahun
(1999-2001), sekitar 20-an kader JI, terutama dari Malaysia, mengikuti program
ini seperti Dr. Azhari dan Wan Min Wan Mat.
Penulis
adalah Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
#muslimsejati
#mediamuslim
0 comentários: