Social Share Icons

Tantangan dalam Memberi Pemahaman Pancasila bagi Generasi Milenial

Tantangan dalam Memberi Pemahaman Pancasila bagi Generasi Milenial
Jakarta, NU Online
Ideologi Pancasila merupakan falsafah bangsa Indonesia yang sudah final. Sebab Pancasila merupakan konsensus nasional yang telah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia yang beragam untuk menjaga kerukunan, membangun kedamaian sebagai untuk menghindari kerusakan maupun pertumpahan darah.

Pemahaman seperti ini harus diyakini oleh setiap warga negara, baik kalangan usia dewasa maupun kaum milenial. Namun tantangannya, memberikan pemahaman demikian bagi generasi milenial bukan perkara mudah. Terlebih di era teknologi informasi yang serba cepat seperti saat ini, di mana informasi yang deras kadang kala membawa serta ideologi lain secara sembunyi-sembunyi. 

Salah satu ideologi yang bisa masuk ke layar telepon genggam generasi millennial adalah paham radikalisme kekerasan seperti yang dialami oleh Danian, seorang remaja yang terjebak paham radikalisme kekerasan dan memutuskan untuk bergabung dengan ISIS beberapa tahun lalu. Danian terkecoh oleh kampanye apik ISIS yang tampak nyaris sempurna melalui media sosial yang ia temukan. Akibatnya ia memutuskan untuk membujuk keluarganya hijrah ke Suriah.

Fenomena kampanye seperti marak ditemukan di dunia maya. Kampanye kelompok kekerasan ini nyatanya berhasil mempengaruhi kelompok muda yang mencari jati diri seperti Danian yang masih duduk di bangku SMA kala itu. 

Hal itulah yang melatarbelakangi perlunya memastikan agar kelompok muda yang begitu dekat dengan platform media sosial tidak terjerumus ke dalam kampanye jahat kelompok kekerasan. Salah satunya dengan memastikan kelompok ini mengilhami nilai-nilai yang tertanam dalam Pancasila.  

“Di era keterbukaan ini mau tidak mau kita perlu memastikan mereka memahami Pancasila. Mengapa? karena kita lihat dari pernyataan anak-anak milenial ini mulai ada distorsi tentang pemahaman tersebut. Ini  karena mereka ini kemasukan paham-paham radikal. Itulah mengapa kita perlu terus tekankan Pancasila pada mereka,” ujar Dosen Universitas Pertahanan Indonesia, Laksdya TNI (Purn) Widodo beberapa waktu lalu. 

Untuk itu, kata dia, harus ada mekanisme baru untuk dalam memasukkan pemahaman Pancasila kepada peserta didik melalui sekolah-sekolah. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menggunakan perkembangan teknologi informasi yang berkembang saat ini.

Selain itu, lingkungan pendidikan perlu menanamkan kembali nilai-nilai pancasila dengan cara yang disukai oleh generasi milenial. “Ini harus dikawal, sehingga seluruh kewajiban di sekolah, baik sekolah negeri, swasta maupun sekolah-sekolah asing, untuk mengucapkan mengamalkan Pancasila, mengibarkan bendera tiap hari Senin dan menyanyikan lagu Indonesia Raya,” ucapnya.

Senada dengan itu, KH Ma'ruf Amin dalam perspektif kebangsaan ala Nahdlatul Ulama kerap menyebut bahwa Indonesia merupakan negara kesepakatan karena berdiri di atas kesepakatan elemen bangsa. Sedangkan Pancasila merupakan titik temu dan UUD 1945 berdiri sebagai tatanan kehidupan bangsa. "Kedua hal itu kita sebut sebagai ittifaqan akhawiyah, kesepakatan saudara sebangsa dan setanah air," ujar Kiai Ma'ruf. Oleh karena itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Malang itu selalu menyebut negara Indonesia sebagai darul mitsaq atau negara kesepakatan. (Red: Ahmad Rozali)

0 comentários:

Islam dan Nasionalisme

0
11
Dalam beberapa waktu terakhir ini terus dibahas di ruang publik soal dikotomi nasionalisme dan keislaman. Diskursus ini sudah berjalan lama.
Seringkali publik berhadapan pada satu isu atau masalah berdasarkan yang dibaca dari tulisan orang, yang menulis dengan konteks alasan, situasi atau kondisi yang khusus atau tertentu, yang bisa jadi berbeda dengan kita.
Tidak ada pertentangan substantif antara keislaman dengan nasionalisme atau kebangsaan. Masing-masing memiliki tempat. Secara konsep dan praktis tak ada benturan.
Hanya saja, hal ini menjadi berbeda ketika ada yang menjadi pengusung. Muncul kelompok Nasionalis ataupun Islamis. Kemudian membangun demarkasi atau perkubuan berdasarkan pemahaman yang diklaim paling benar.
Misalnya, para  Nasionalis adalah semata cinta tanah air dan tak peduli agama. Sementara Islamis adalah yang menjadikan agama sebagai panduan pokok dan tidak ada urusan dengan nasionalisme.
Ketika masuk tafsiran kelompok bisa jadi ada benturan. Dalam situasi apapun, kita harus tetap menjaga akal sehat.
Semua pihak memiliki kewajiban menerangkan, bahwa antara keislaman dan kebangsaan tidak ada pertentangan. Islam tidak datang di ruang kosong. Islam hadir dalam sejarah.
Kebenaran dalam sejarah itu kebenaran dari Alloh. Cinta pada tanah air itu bagian dari naluri, tak mungkin bertentangan dengan agama.
Seringnya beberapa orang merujuk pengalaman dari negara lain untuk diterapkan di Indonesia. Dalam banyak isu keislaman, kita banyak merujuk pada tulisan-tulisan lain yang sebenarnya dikerjakan pada situasi khusus atau tertentu.
Contohnya ada orang yang dipenjara kemudian menulis dengan penuh kemarahan. Wajar tulisannya penuh perlawanan, tak wajar jika lantas kita mengambilnya mentah-mentah.
Di Indonesia, kita punya pengalaman kebangsaan yang kaya. Tidak kurang-kurangnya kejadian sejarah menjadi rujukan.
Ini yang kemudian disebut Islam Nusantara. Yang maknanya mengajak semua mengkodifikasi atau mendokumentasi dengan baik nilai-nilai keislaman yang telah berjalan lama dengan baik dan damai di Indonesia. Untuk bisa ditawarkan menjadi salah satu rujukan. Jangan sebaliknya, tulisan orang luar diterapkan mentah-mentah di Indonesia.
Bila kalangan Umat Islam di Arab mengalami masalah nasionalisme dan ada resistensi, itu karena pengalaman kolektif bangsa-bangsa Arab. “Nation state” atau konsep negara-bangsa sebagai satu kesatuan yang terbentuk, adalah skenario atau buatan dari penjajah.
Kita tahu dalam sejarah, Jazirah Arab itu dibelah-belah oleh Inggris maupun Perancis. Terbentuknya negara-negara di Arab itu karena dibagi-bagi oleh para penjajah.
Hal ini, memicu sensitivitas terhadap “nation state”. Maka para cerdik cendekia di kawasan Jazirah Arab, menulis kritikan pada bangsa-bangsa berkonsep “Nation State”. Hingga dipopulerkan satu kontrateori, ketika kekhalifahan itu lemah dan jatuh, maka akan dibentuk negara sesuai kemauan penjajah. Resistensi yang paling mudah dan dekat dengan sejarah, menulis tentang khalifah.
Sejarah-sejarah kejadian ini beda dengan di Indonesia. “Nation state” yang bernama NKRI bukan pemberian penjajah.
NKRI ini lahir dalam bentuk penyatuan yang banyak. Kalau membaca sejarah, jelas para sultan atau raja-raja baik di Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa, menyerahkan kekuasaan pada Republik Indonesia.
Tidak relevan ketika membaca karya yang mengecam “nation state” berdasar pengalaman mereka-mereka di sana, bangsa-bangsa di kawasan Jazirah Arab. Ketika bicara bangsa yang paling aman adalah kembali kepada rujukan primer pada Al Qur’an dan Hadist. Serta dari perjalanan panjang.
Pandangan dunia yang ditawarkan oleh Al Qur’an bukan teori konflik. Seperti dikatakan Syaikh Ali Jum’ah, yang ditawarkan adalah pandangan dunia yang komplementatif. Bahwa semua potensi di dunia ini diakui oleh Islam. Masa depan yang diajarkan dalam Islam bukan konflik atau benturan. Yang benar adalah keharmonisan. Bersama dalam ketenteraman.
Bagian dari fitrah dan akal manusia adalah “hubbul wathan”. Nasionalisme dalam makna “hubbul wathan” adalah kehendak kuat lepas dari penjajahan. Dan itu diakui oleh Islam.
Kecuali jika nasionalisme diartikan sebagai chauvinistik, alias menganggap diri sebagai bangsa terpilih. Itu yang tak boleh. Bangsa kita adalah bangsa terbaik. Yang lain nomor buncit, itu seperti klaim orang Yahudi. Jika begitu, lantas apa bedanya kita dengan mereka?
*Zainal Abidin, MAAlumni UI Jakarta
sumber : https://www.harakatuna.com/islam-dan-nasionalisme.html

0 comentários:

Masa Depan Indonesia di Tengah Gempuran Khilafah


Akhir-akhir ini isu khilafah belum pudar. Isu ini kian bangkit seiring perkembangan zaman. Sejenak saya termenung dan bertanya-tanya: “Apa yang menarik dari Khilafah? Kayaknya isu khilafah tak kalah menariknya dibandingkan isu Pilpres 2019.”
Saya coba membaca sekelumit kemunculan khilafah. Ceritanya begini. Khilafah adalah sistem kepemerintahan yang dikenal dan diterapkan setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Orangnya disebut “Khalifah” (Pengganti). Sahabat Nabi yang kali pertama menjalani sistem khilafah ini adalah Abu Bakar ash-Shiddiq sehingga ia disebut sebagai “Khalifah Rasulullah” (Pengganti Rasulullah), kemudian kepemimpinan ini dilanjutkan oleh sabahat yang lain, yaitu Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, bahkan para khalifah pada Dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan seterusnya.
Potret sejarah khilafah tersebut memang populer dalam sejarah Islam (at-tarikh al-islamy). Namun, saya belum puas dengan informasi ini karena belum menjawab pertanyaan yang masih bercokol di kepala saya, sehingga saya terus mengulik informasi dari sekian lembar buku. Khilafah yang berkembang pada masa sabahat bukanlah atas dasar otoritas pihak tertentu. Dan, penting diingat bahwa khilafah tidak melupakan baiat atau janji setia masyarakat. Sampai di sini, saya mulai menemukan titik terang bahwa khilafah yang ditawar kelompok ekstrem seperti ISIS, HTI, dan lain sebagainya adalah sistem di luar Islam yang mengatasnamakan Islam dan tentunya sistem ini tidak dikekehendaki oleh Nabi Muhammad Saw., bahkan tidak diterapkan oleh sahabat-sahabat beliau. Sistem khilafah yang ditawarkan kelompok ekstrem persis dengan sistem perpolitikan patriarkhi sebelum datangnya Islam di mana kepemimpinan hanya berada pada kendali pihak-pihak tertentu, lebih-lebih kaum maskulin.
Khilafah itu adalah istilah di masa lalu, sekarang tidak trend lagi menggunakan istilah itu, karena istilah khilafah terkesan arabisasi. Seakan istilah khilafah ini terkesan islami, sehingga banyak kelompok ekstrem mengidolakannya. Padahal, kenyataannya Islam tidak demikian. Islam memiliki cakupan yang sangat luas dibanding mindset kelompok ekstrem yang menawarkan sistem khilafah berpegang pada tali kendali hukum Islam dan mencita-citakan khalifahnya satu dalam dunia yang maha luas. Khilafah itu hanya bagian terkecil dari cakupan Islam yang amat luas. Islam bisa dilihat dari tiga prinsip: akidah, syariat, dan tasawuf. Terus, apakah Indonesia tidak islami karena tidak menggunakan sistem khilafah? Bila dilihat dari tiga prinsip Islam, Indonesia justru sudah Islam. Sebab, masyarakat Indonesia sudah lama berakidah, bersyariat, dan bertasawuf. Sebut saja, Nahdlatul Ulama (NU) yang notabeni disebut-sebut Aswaja menganut akidah yang diajarkan Sekte Asy’ariyah dan Maturidiyah, mengikuti manhaj empat mazhab, lebih-lebih mazhab Imam Syafi’i, dan mengaplikasikan tasawuf Imam Al-Ghazali. Secara sekilas, Indonesia sudah mengamalkan dan menerapkan hukum Islam.
Tidak benar sebagian pihak yang mengeklaim bahwa Indonesia dengan sistem demokrasi bukan negara Islam. Mari kita lihat sila yang pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila pertama ini semakna dengan pesan surah al-Ikhlash ayat 1: “Katakanlah (Muhammad) Dia Allah Yang Maha Esa.” Sila pertama dan pesan surah al-Ikhlash sama-sama menegakkan monoteisme (tauhid) dan memerangi politeisme (syirik), karena syirik merupakan keyakinan yang diklaim sesat. Dalam Al-Qur’andisebutkan pesan Luqman kepada anaknya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Luqman/31: 13). Dengan pesan monoteis ini, Indonesia sejatinya sudah Islami.
Pada tempat yang lain, isu yang sering disinggung adalah tidak diberlakukannya hukum rajam bagi para pezina dan potong tangan bagi para pencuri, sekalipun di dalam Al-Qur’an disinggung ketentuan hukum ini. Sebelum melihat konteks hukum ini di Indonesia, saya ingin flashback pada saat kekhalifahan Umar bin Khattab. Pada masa Umar, ada seorang pencuri yang tertangkap basah, tapi Umar tidak menjatuhkan hukum potong tangan pada si pencuri. Karena, Umar melihat bahwa potong tangan bukanlah hukum yang paten. Hukum itu memiliki tujuan menghantarkan orang yang salah menjadi jera dan tidak peduli bentuk hukumannya. Sikap Umar ini kemudian dieksplor di Indonesia, sehingga hukuman bagi pencuri di Indonesia bukanlah potong tangan, tetapi di istirahatkan di balik jeruji besi. Bahkan, bagi Quraish Shihab, hukuman bagi koruptor adalah diambil hartanya dan dibuat malu di depan publik, supaya mereka jera.
Saya baru mengerti kenapa kelompok ekstrem mengidolakan khilafah. Karena, mereka melihat sejarah khilafah secara parsial sehingga konklusi yang dipahami tidak utuh seolah-olah, sebut Quraish Shihab, melihat wajah wanita yang dihinggapi tahi lalat. Bila dilihat tahi lalatnya saja, akan lahir kesimpulan bahwa wanita itu jelek. Namun, bila dilihat secara utuh akan lahir kesimpulan wanita itu cantik. Maka, tidak perlu mengubah sistem demokrasi menjadi sistem khalifah. Karena, Indonesia sudah islami, kendatipun gayanya modern.[] Shallallah ala Muhammad!
Sumber : https://www.harakatuna.com/masa-depan-indonesia-di-tengah-gempuran-khilafah.html

0 comentários:

Kajian Demokrasi dan Syirik dalam Al-Qur’an

Kajian Demokrasi dan Syirik dalam Al-Qur’an
Kajian Demokrasi dan Syirik dalam Al-Qur’an
Kita sudah mengetahui bersama bahwa Indonesia didirikan bukan sebagai negara Islam dan bukan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, melainkan menggunakan sistem demokrasi.

Akhir-akhir ini, ada sebagian kelompok yang menganggap bahwa menjalankan hukum dan sistem pemerintahan dengan hukum dan sistem lain selain hukum Allah SWT juga termasuk syirik, seperti sistem demokrasi di Indonesia.

Bahkan penerapan hukum di luar hukum disebut sebagai syirik akbar. Sedangkan para penganut syirik akbar ini dianggap batal syahadatnya, bahkan sudah disebut kafir.

Salah satu ayat yang digunakan adalah Surat Al-Kahfi ayat 26.

وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

Artinya, “Dan Allah tidak menyekutukan dalam ‘hukum’-Nya pada seorang pun.”

Ayat ini menjadi pegangan oleh salah satu terpidana terorisme yang telah dijatuhi hukuman mati, Aman Abdurrahman, untuk melakukan kekerasan dan terorisme.

Ayat di atas dipahami oleh kelompok mereka bahwa setiap orang yang menyekutukan hukum Allah SWT, yakni menganut hukum yang tidak dibuat oleh Allah SWT, maka mereka termasuk golongan orang yang musyrik.

Golongan musyrik ini mencakup orang-orang yang membuat peraturan perundang-undangan melalui lembaga kenegaraan seperti parlemen (DPR/MPR), para pembuat kebijakan yang tidak merujuk kepada Al-Qur’an sebagai representasi hukum Allah SWT, orang yang membuat dan mengikuti hukum positif, para pelaksana hukum positif seperti hakim, pengacara, jaksa, dan polisi.

Menurut mereka, para pembuat dan pelaksana hukum positif telah merebut hak membuat peraturan yang hanya dimiliki oleh Allah SWT. Mereka menyekutukan Allah dalam pembuatan hukum atau peraturan.

Lalu, benarkah demikian? Benarkah seluruh orang yang mengakui sistem demokrasi, sekaligus pelaksananya berhak menyandang status musyrik dan kafir hanya karena divonis menyekutukan hukum Allah SWT? Benarkah ayat tersebut berkaitan dengan hal itu?

Namun sebelum kita membahas lebih jauh maksud dan pendapat para ahli tafsir terkait ayat tersebut, ada baiknya jika kita membaca ayat tersebut secara utuh.

قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا ۖ لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ ۚ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

Artinya, “Katakanlah, ‘Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan,’” (Surat Al-Kahfi ayat 26).

Secara utuh, ayat tersebut sebenarnya mengisahkan bagaimana Allah SWT menengahi perdebatan terkait waktu lamanya para ashabul kahfi menetap di dalam gua. Dan tentunya, ayat ini tidak boleh dipisahkan dari ayat sebelumnya, yaitu Surat Al-Kahfi ayat 25:

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

Artinya, “Mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi),” (Surat Al-Kahfi ayat 25).

Inti dalam ayat tersebut adalah bahwa kita tidak perlu memperdebatkan berapa lama ashabul kahfi tinggal di dalam gua. Berapa lama pun mereka tinggal di dalam gua, semua itu adalah ketentuan Allah SWT.

Yang perlu diyakini adalah Allah SWT mampu membuat ashabul kahfi tertidur dalam waktu yang cukup lama. Semua adalah ketentuan Allah. Allah mampu membuat mereka tertidur sangat lama tanpa mengalami kerusakan jasad.

Allah mampu membangkitkan mereka kembali setelah sekian lama. Allah menentukan semua itu. Dia tidak perlu meminta pendapat pada orang lain dalam membuat ketentuan. Dia juga tidak perlu bantuan orang lain dalam mewujudkan kehendak dan keputusan-Nya.

Kata “hukum” dalam Surat Al-Kahfi ayat 26 berarti ketentuan Allah terhadap ashabul kahfi, jumlah mereka, berapa lama mereka tertidur, dan bagaimana mereka kembali terbangun. Allah tidak membagi kekuasaan-Nya pada orang lain mengatur semua kisah ajaib yang terjadi pada ashabul kahfi.

Kata “hukum” pada ayat ini bukan hukum dalam artian peraturan atau sistem yang digunakan dalam sebuah negara. Itulah mengapa diksi yang dipilih oleh Kementrian Agama dalam menerjemahkan kata “hukum” pada ayat ini dengan kata “ketentuan.”

Hal ini diperkuat dengan pendapat para mufassir yang menyebutkan bahwa kata “hukum” dalam ayat tersebut berkaitan dengan masa atau waktu tidur ashabul kahfi. Al-Baghawi (wafat pada 516 H) mengatakan bahwa maksud “hukum” dalam Surat Al-Kahfi ayat 26 adalah pengetahuan tentang perkara gaib seperti detail cerita ashabul kahfi yang ajaib.

Kata “hukum” dalam konteks ini adalah ilmu gaib, yang maksudnya bahwa Allah SWT tidak bersekutu dengan seorang pun dalam mengetahui perkara gaib, (Lihat Al-Baghāwī, Ma’ālimut Tanzīl, [Beirut, Dārul Kutub: 1995 M], juz III, halaman 188).

Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Tafsir Marāḥ Labīd, ayat tersebut menunjukkan bahwa kita tidak boleh bertanya kepada seorang pun tentang apa yang sudah diberitahukan Allah SWT terkait jumlah ashabul kahfi serta lamanya mereka tertidur dalam gua.

Kita, kata Syekh Nawawi Al-Bantani, memang diperbolehkan untuk mendiskusikan kisah ashabul kahfi di dalam gua, tapi harus dibatasi pada keputusan Allah SWT. Kita tidak diperbolehkan untuk menyekutukannya terkait pengetahuan atas peristiwa ini, (Lihat Syekh Nawawi Al-Bantani, Tafsir Marāḥ Labīd, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1417 H], juz I, halaman 647).

Namun, ada juga ulama tafsir yang menafsirkan hukum dalam ayat tersebut sebagai undang-undang. Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Amin As-Syinqithi dalam Tafsir Adwā’ul Bayān:

“Dengan teks-teks langit yang telah kami sebutkan tampak jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum positif yang disyariatkan setan melalui lisan para pengikutnya adalah bertentangan dengan syariat Allah yang disampaikan para rasul-Nya. Bahwa tidak ragu kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang Allah butakan batinnya,” (Lihat Muhammad Amin As-Syinqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M], juz III, halaman 259).

Terkait penafsiran As-Syinqithi yang berbeda dengan penafsiran para ulama tafsir ini sebenarnya telah dijawab sendiri oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri mengajarkan untuk melakukan beberapa hal yang pada dasarnya sesuai dengan prinsip demokrasi.

Pertama, Al-Qur’an mengajarkan untuk bermusyawarah. Hal ini tercantum jelas dalam Surat Al-Syu’ara ayat 38.

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Artinya, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Jika memang benar bahwa Allah SWT menolak hukum yang dibuat oleh manusia, maka Allah SWT tidak mungkin memerintahkan manusia untuk bermusyawarah yang tujuannya adalah membuat keputusan atau produk hukum.

Di sisi lain, Al-Qur’an juga mengajarkan untuk selalu menepati perjanjian yang dilakukan. Bahkan Rasulullah sendiri melakukan beberapa perjanjian, di antaranya perjanjian Hudaibiyah, perjanjian Fathu Makkah, dan Piagam Madinah.

Jika hukum manusia adalah syirik, maka tentu hasil dari perjanjian-perjanjian Rasulullah SAW tersebut akan ditentang oleh Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 177:

وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ

Artinya, “Orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,” (Surat Al-Baqarah ayat 177).

Oleh karena itu, syirik dalam konteks Surat Al-Kahfi di atas, sebenarnya bukan dalam konteks syirik pemerintahan atau sistem hukum yang diberlakukan di masyarakat, melainkan termasuk syirik dalam hal yang berkaitan dengan hal gaib, termasuk berapa lamanya waktu tidur ashabul kahfi sebagai bagian dari kekuasaan Allah SWT. Wallahu a’lam.

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/103780/kajian-demokrasi-dan-syirik-dalam-al-quran

0 comentários:

Prinsip Demokrasi dalam Al-Quran


Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia Dalam demokrasi Islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diatur tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Karena itu ada dua prinsip yang sangat penting yaitu prinsip pengakuan HAM dan prinsip perlindungan HAM. Prinsip tersebut digariskan dalam surah al-Isra’ ayat 70 sebagai berikut : “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” dari ayat diatas dapat kita pahami bahwa : a.       Manusia itu dilindungi baik pribadinya maupun hartanya b.      Status persamaan manusia dijamin sepenuhnya c.       Demokrasi Islam meletakkan hak-hak politik dan menjamin hak-hak itu sepenuhnya bagi setiap warga negaraPrinsip Peradilan Bebas (Kebebasan) Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam demokrasi Islam seorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam setiap keputusan yang diambil bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan keadilan dan persamaan pada siapapun, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah an-Nisaa’ ayat 58 sebagai berikut. “…dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” Prinsip peradilan bebas dalam demokrasi Islam tidak boleh bertentangan  dengan tujuan hukum Islam, al-Qur’an dan sunnah. Prinsip Perdamaian Demokrasi Islam harus ditegakkan atas dasar prinsip perdamaian. Hubungan dengan negara-negara lain dan sesama rakyat harus dijalin dan berpegang pada prinsip perdamaian. Pada dasarnya sikap bermusuhan dan perang merupakan sesuatu yang dilarang dalam al-qur’an. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surah alAnfal ayat 61 sebagai berikut : “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” Ayat ini membuktikan bahwa doktrin Islam selalu mementingkan perdamaian antar bangsa. Sekalipun manusia diciptakan Allah dalam berbagai suku dan bangsa, namun mereka tetap merupakan satu keluarga untuk saling mengenal, menjalin hubungan dan kerjasama serta memelihara perdamaian antar mereka. Prinsip Kesejahteraan Prinsip kesejahteraan dalam demokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat. Keadilan sosial dalam demokrasi Islam bukan sekedar pemenuhan kebtuhan materil saja, akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual. Prinsip kesejahteraan tercantum dalam surah Saba’ ayat 15 sebagai berikut : “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat  kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”. Dalam demokrasi Islam hanya ada satu motivasi pelaksanaan prinsip kesejahteraan yaitu hablum min Allah wa hablun min al-nas. Prinsip Ketaatan Rakyat Hubungan antara pemerintah dan rakyat telah digariskan Allah dala surah  an-Nisaa ayat 59 yang berbunyi sebagai berikut : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Prinsip ketaatan rakyat disini dimana seluruh rakyat wajib mentaati pemerintah. Kewajiban rakyat untuk mentaati pemerintah adalah sepanjang pemerintahan itu menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Dalam demokrasi Islam mekanisme atau sistem yang mendukung pelaksanaan prinsip-prinsip umum negara hukum menurut al-qur’an dan sunnah bukanlah merupakan suatu yang mutlak tanpa alternatif lain. Dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi Islam dengan mengutamakan mashlahah, maka manusia akan menemukan alternatif yang terbaik sesuai dengan masalah-masalah kenegaraan dan kemasyarakatan yang dihadapi.

0 comentários:

Menaati Pemerintah Bukanlah Kekafiran


Sebagian kelompok menganggap Indonesia negara kafir karena tidak berpedoman pada hukum Allah. Sehingga, menurut mereka, pemerintah tidak wajib ditaati. Bahkan, menaati pemerintah beserta aturan yang dibuatnya dianggap sebagai bentuk kekafiran. Benarkah demikian?

Dalam Islam, menaati pemimpin merupakan sebuah keharusan dalam beragama dan bernegara. Kewajiban untuk menaati para pemimpin berimplikasi pada ketaatan aturan yang dibuat oleh pemerintah. Sebagaimana halnya mengikuti seorang pemimpin, maka apa yang menjadi turunan dan manifestasi kebijakannya menjadi sebuah kewajiban juga.
Bagi kelompok jihadis menaati Undang-undang merupakan sebuah kekafiran turunan. Dalam bahasa mereka adalah “kafir istihlal”. Term ini diartikan sebagai cara melihat hitam-putih, halal-haram. Pemerintah yang dianggap menghalalkan yang diharamkan Allah, adalah pemerintah kafir. Maka mengikuti undang-undang yang diatur oleh pemerintah tersebut, secara otomatis menjadi kafir.
Dalam pandangan mereka, ketaatan kepada negara yang tidak mengikuti syariat Islam dalam arti sempit, maka sama saja dengan mengikuti kekafiran. Pandangan semacam ini jelas keliru dan salah.
Pandangan mereka didasarkan kepada ayat berikut:
أفحكم الجاهلية يبغون ومن أحسن من الله حكما لقوم يوقنون
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. 5: 50).
Ayat ini dipahami bahwa yang tidak membuat hukum selain hukum Allah, maka hukum tersebut adalah hukum kafir. Hanya Allah lah yang absolut dalam membuat hukum untuk manusia. Dalam menjelaskan pemahaman ini, mereka menyatakan bahwa Hakimiyah (Otoritas Pembuat Hukum) hanya Allah.
Kaum ekstrimis juga berpendapat bahwa hukum yang dituruti oleh hawa nafsu dan mengingkari hukum Allah adalah hukum Jahiliyah. Pada intinya mereka melakukan atribusi “hukum jahiliyah” kepada undang-undang buatan manusia.
Mereka juga melandaskan argument pada ayat berikut:
إن الحكم الا لله وهو يقص الحق
“Hanya saja hukum itu milik Allah”. (QS. 12:40)
Benarkah pemahaman di atas? Apa dasar atas pemahaman tersebut? Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata pemahaman di atas yang dilandasi kepada QS. Al-Maidah: 50 merupakan sebuah legitimasi untuk menyebut undang-undang sebuah Negara sebagai produk kafir.
Pemahaman di atas tidak sesuai dengan konteks lahirnya ayat tersebut. Sebagaimana dalam ulum al-Tafsir, untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, kita memerlukan konteks lahirnya ayat tersebut. Konteks tersebut di antaranya adalah asbab al-nuzul.
Menukil pendapat al-Zamakhsyari (538 H) dalam al-Kasyyaf, bahwa ayat tentang “hukum jahiliyah” lahir dari konteks orang-orang yahudi terdahulu yang melebihkan keturunannya daripada orang lain. Ayat ini turun karena pertentangan yang terjadi antara kabilah Quraizhah dan Bani Nadzhir. Di antara mereka saling klaim sebagai kaum terbaik.
Menurut al-Zamakhsyari yang mengutip pendapat al-Thawus bahwa hukum jahiliyah maksudnya adalah hukum yang melebihkan satu (keturunan) daripada yang lain. . (al-Zamakhsyari, al-Kasyyaf, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, I, hlm. 116)
Dengan kata lain, ia tidak dilandasi kepada pengetahuan dan kebijaksanaan atas kesamaan di hadapan hukum. Jika hukum sudah demikian, di mana ia tidak dilandasi kepada dasar persamaan. Maka hukum sudah dibodohi, dikangkangi, dijahiliyahi oleh beberapa kelompok untuk kepentingannya sendiri.
Dalam penafsiran ini kita menemukan adanya spirit kesetaraan di depan hukum dalam pandangan al-Zamakhsyari. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam harus dilandasi kepada nilai-nilai universal seperti kesamaan warga negara sebagaimana di negara demokrasi.
Pandangan semacam ini sejatinya juga berangkat dari prespektif nilai-nilai universal hukum Islam seperti Hifzul Nafs agar setiap orang tidak boleh membunuh atas nama agama apapun. Sebagaimana bahwa aturan dibuat untuk menciptakan kemaslahatan bersama (maslahah ‘ammah).
Artinya hukum Islam sangat mengatur hidup-kehidupan bersama antar sesama umat manusia. Dengan kata lain, secara substantif, hukum Islam sama seperti halnya dengan undang-undang dalam sebuah Negara.
Sebagaimana disebutkan di atas, kaum ekstirimis berpendapat bahwa negara Thogut seperti Indonesia, mentaati undang-undangnya adalah bagian dari kekafiran. Pernyataan ini sangat bertentangan dengan ketentuan ketaatan kepada pemimpin. Dalam QS. An-Nisa: 59 dijelaskan adanya keharusan menaati pemimpin.
Para ulama menafsirkan ayat QS. An-Nisa 59 dengan tafshil. Yaitu ketaatan kepada ulul amri merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Swt. Ketaatan itu sebuah keharusan, sebagaimana menurut Jumhur ulama, selama tidak mereka tidak menyerukan kepada pengingkaran kepada Allah. Sebagaimana ini dinyatakan dalam kaidah:
وجوب طاعة الأمراء في غير معصية الله
“Bahwasanya sebuah keharusan menaati para pemimpin, selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah.”
Al-Hafizh Ibn Katsir (744 H) sendiri menyatakan bahwa ayat ketaatan kepada pemimpin bersifat “am” (secara umum). Ketaatan kepada Ulul Amri ditafsirkan sebagai ketaatan kepada para ulama dan umara’. Karena ayat tersebut tidak menyebutkan secara khusus siapa itu umara’ dan ulama.
Dari kaidah ini terlihat bahwa setiap muslim diharuskan menaati pemimpinnya. Dengan adanya ketentuan ketaatan kepada pemimpin (Ulul Amri) tersebut maka bertolak belakang jika , berada dalam koridor mereka tidak menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah.
Dalam konteks Indonesia, undang-undang secara hirarkis merupakan turunan dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya. Tidak sedikit undang-undang yang mengakomodir nilai-nilai syariat Islam. Di antara undang-undang tersebut banyak menyangkut persoalan bab hukum kekeluargaan Islam (ahwal syakhsiyyah dan mu’amalah) sebagaimana lazim dalam kitab-kitab fikih. Di antaranya adalah UU Perkawinan No. 1/ 1974.
Dengan demikian, tidak benar anggapan sebagian orang bahwa hukum yang diatur dalam Negara Indonesia adalah produk kafir dan menjadi kekafiran jika mengikutinya. karena memang dari sananya dan fungsinya, undang-undang dibuat bukan lagi menyangkut persoalan perbedaan teologis.

0 comentários:

Khilafah Bukan Jaminan Kemaslahatan


43 shares
Khilafah menjadi persoalan penting yang perlu dipahami, terutama bagi generasi muda. Kerap kali terjadi permusuhan antar teman, saudara bahkan sanak famili karena perbadaan pendapat tentang falsafah kebangsaan yang secara tidak langsung berafiliasi dengan kehidupan sehari-hari. Memahami khilafah yang pernah diterapkan di zaman dulu dari dinasti ke dinasti akan membuat pola pikir sadar bahwa apapun sistem pemerintahannya bukan jaminan untuk kemashlahat umat Islam dan warga negaranya.
Kelompok eks HTI masih terus melakukan gerakan masif secara gerilya untuk menyuarakan khilafah yang mereka anggap sebagai solusi atas permasalahan umat, maupun problematika negara. Sebut saja jika nilai rupiah melemah, korupsi atau harga barang yang melambung solusinya Khilafah, mungkin mereka tidak tahu sejarah masa lampau yang juga pernah mengalami keadaan ekonomi yang menurun bahkan jauh lebih parah.
Prof. H. Nadirsyah Hosen, PH.D, dalam bukunya yang berjudul Islam Yes, Khilafah No Jilid II menerangkan bahwa setiap pemimpin umat Islam zaman ‘old’ mendapat gelar Khalifah, sejak masa Khulafaur Rosyidin, Umayyah, Abasiyyah, Fathimiyyah, Ayyubiah, Buwaihiyyah, Buwahhidin hingga Ustmaniyah. Setelah Rosulullah wafat, ada pertemuan tokoh-tokoh elit bangsa Arab yang membahas tentang siapa pengganti Rosulullah sebagai pemimpin umat muslim. Terjadi perdebatan cukup panjang antar suku, masing-masing kabilah merasa berhak menjadi pemimpin menggantikan Rosulullah, sampai akhirnya semua kabilah sepakat memilih Abu Bakar As-Shidiq.
Abu Bakar As-Shidiq menjadi pemimpin tidak lama, lalu berijtihad menunjuk Umar bin Khattab sebagai pengganti Abu Bakar As-Shidiq sebagai pemimpin umat muslim. Berbeda dengan cara Abu Bakar As-Shidiq yang langsung menunjuk Umar, sebelum Umar wafat Kholifah kedua itu memilih enam orang yang bisa memilih dan dipilih  untuk menggantikannya menjadi Kholifah ketiga, hingga terpilihlah Ustman bin Affan. Terakhir, berbeda dengan cara ketiga Kholifah sebelumnya pasca Usman bin Affan dibunuh, Ali bin Abi Tholib dipilih oleh khalayak ramai untuk menggantikan.
Kenapa para Sahabat Rosulullah yang paling tahu tentang isi beserta makna Al-Quran dan Hadist tidak menentukan sistem yang permanen untuk cara pemilihan pemimpin dan mengatur sistem pemerintahan yang harus diterapkan disemua negara bagi umat muslim. Sebuah realita terkait fakta sejarah pemerintahan islam di masa lalu pada masa Khulafaur Rosyidin dan pasca Kepemimpinan Ali bin Abi Tholib pun tidak semua baik, sistem khilafah yang diterapkan tidak lantas menjadikan umat islam makmur ataupun mashlahat.
Masa kepemimpinan zaman dulu terdapat fakta perang saudara sesama umat islam, penyebabnya beragam termasuk yang sering terjadi karena perebutan kekuasaan. Imam Ali bin Abi Thalib berperang dengan Muawiyah (Perang Shiffin), Imam Suyuti menjelaskan dalam kitab Tarikh Al-Khulafa bagaimana pasukan Muawiyah yang hampir kalah namun seketika mengangkat Mushaf Al-Quran diujung pedang untuk meminta perundingan.
Ali bin Abi Thalib memahami bahwa ini hanyalah strategi dari Muawiyah yang hampir kalah. Tapi karena memuliakan Mushaf Alqur’an, pasukan Ali bin Abi Thalib memutuskan untuk tidak melanjutkan peperangan dan berunding dengan Muawiyah yang berkahir tragis untuk pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib karena terjadi perpecahan antar umat islam.
Pada masa Abbasiyah pun pernah mengalami perang saudara sesama umat muslim, antara al-Amin dan al-Ma’mun kedua putra Harun ar-Rasyid. Padahal sebelum wafat, Kholifah Harun mengajak kedua anaknya pergi haji kemudian menuliskan wasiatnya yang disimpan di dinding Ka’bah bahwa Al-Amin akan menggantikan Kholifah Harun, dan setelah al-Amin wafat maka al-Ma’mun yang menjadi Kholifah selanjutnya. Namun, sejarah berkata lain, walaupun wasiat dari Kholifah Harun diletakan di Ka’bah sekalipun nafsu duniawi berupa tahta kekuasaan mengalahkan segalanya. Al-Amin kalah dalam peperangan dan kepalanya dipenggal, lalu al-Ma’mun yang menjadi kekhalifahan Dinasti Abbasiyah.
Khalifah al-Wasiq pemimpin yang membunuh ulama, Khalifah al-Mu’tazz yang mengalami krisis ekonomi dan disiksa pasukannya karena tidak dibayar, Khalifah al-Muqtadir yang menjadi Khalifah saat berusia 13 tahun, Khalifah al-Muttaqi yang taat beribadah namun tidak cakap memimpin negara, sampai masa akhir kepemimpinan Dinasti Abbasiyah yang terjadi perang salib.
Beberapa fakta sejarah diatas hanyalah sebagian contoh kekacauan yang pernah terjadi di masa Khilafah. Masih panjang daftar masalah yang terjadi pada zaman dulu, dalam jangka waktu yang panjang ada saatnya kekhilafahan mendatangkan kemashlahatan seperti di masa Khalifah Harun ar-Rasyid namun ada juga priode kekhilafahan dimana kekacauan akibat perebutan kekuasaan atau kemiskinan karena Khalifah yang tidak cukup ahli menjadi pemimpin. Eks HTI menganggap bahwa Khilafah adalah satu-satunya solusi ternyata juga membawa masalah pada umat islam yang tercatat dalam kitab Tarikh Thabari karya imam al-Thabari dan Tarikh Khulafakarangan Imam Suyuthi.
Fakta ini membuktikan bahwa bagaimanapun sistem pemerintahan yang diterapkan baik Khilafah, ke-Amir-an, Kerajaan ataupun Republik itu bukan jaminan kemashlahatan bagi warga negaranya. Khilafah pula bukan inti ajaran islam, tidak menerapkan Khilafah bukan berarti kita tidak menerima ajaran islam.
Berbeda dengan sistem demokrasi yang terus meng-upgrade kebijakan sesuai keadaan zaman, masa jabatan pun dibatasi dalam satu priode. Jika Khilafah sudah dikalim satu-satunya solusi yang harus ditegakkan untuk umat islam, sama saja mengaggap islam Khilafah sempurna dan seharusnya hasilnya akan lebih baik tanpa menimbulkan berbagai masalah ataupun perang antar sesama umat islam.
Pendukung Khilafah pada zaman sekarang tidak ingin mengungkap fakta sejarah kepemimpinan dengan sistem Khilafah yang terjadi di masa lalu dan menyerang Pemerintah Republik Indonesia dengan sistem demokrasinya seolah-olah Khilafah bisa mengatasi masalah internal dan eksternal di Indonesia yang sejatinya adalah warisan masalah dosa pemerintahan RI zaman dulu.
Jika masih saja bersikeras ingin menegakkan Khilafah, kenapa mereka tidak mau bersatu dengan organisasi yang juga mempunyai niat yang sama seperti ISIS, al-Qaeda, al-Nusro dan lain sejenisnya.
NKRI merupakan rumah keberagaman, kesepakatan yang dibangun oleh pendiri bangsa adalah mengutamakan persatuan yang melahirkan Pancasila sebagai Ideologi negara. Pancasila telah mengawal 73 tahun lebih bangsa Indonesia membangun kesatuan nasional, oleh karena itu tidak perlu lagi mencari sistem pemerintahan lain di luar Pancasila yang tidak menjadi jaminan kemashlahatan bagi bangsa Indonesia.
Para pendiri dan pemimpin terdahulu telah sepakat bahwa tidak satupun sila dalam Pancasila yang melanggar syariat Islam. Mencegah kehancuran lebih diutamakan daripada memperoleh keuntungan. Jika Indonesia menerapkan sistem Khilafah, berapa banyak daerah yang akan memisahkan diri karena mayoritas penduduknya beragama non-muslim. Sehingga akibatnya perpecahan bahkan peperangan akan terjadi di tanah air.
*Oleh: Febi Akbar Rizkimahasiswa Universitas Islam Malang.

0 comentários: