Syaifullah, NU Online | Kamis, 28 Februari 2019 18:00
Kota Banjar, NU Online
Perundang-undangan sebagai produk politik negara bangsa menjadi bahasan dalam bahtsul masail komisi maudluiyah pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama. Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Masudi berpandangan bahwa jika produk tersebut tidak bertentangan dengan syariat, maka sudah syar'i.
"Kalau kita ingin menguji peraturan hukum positif mulai dari undang-undang, peraturan daerah atau Perda dan lainnya. Adakah yang bertentangan dengan syariat? Kalau tidak ada yang bertentangan syariat, itu oke," kata Kiai Masdar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2).
Baik Undang-Undang, maupun Perda, kata Kiai Masdar, jika tidak bertentangan dengan syariat, itu maka sudah syar’i.
"Saya kira itu akan lebih longgar. Perda dan UU bisa kita lihat dari itu," jelasnya.
Kiai Masdar menjelaskan bahwa penetapan Perda yang sudah tidak bertentangan dengan Islam, maka akan sangat besar pengaruhnya terhadap kesetiaan warga negara. Bahkan hal ini menjadi terikat dengan Muslim Indonesia.
"(Hal itu menjadi) kekuatan positif support bagi umat Islam," terangnya.
Oleh karena itu, Kiai Masdar meminta agar para syuriyah dan lembaga bahtsul masail di semuat tingkatan harus melihat produk perundang-undangan mulai dari apakah ada yang bertentangan atau tidak.
Jika hal itu diterapkan, maka hal itu menjadi dukungan nyata NU terhadap pemerintah. "Dukungan yang sangat nyata dari NU dalam persepektif Islam terhadap eksistensi pada fungsi pemerintah," pungkasnya. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/103155/bila-tak-bertentangan-dengan-syariat-produk-undang-undang-itu-syari
Ajaran tentang keadilan dalam Islam mendukung prinsip demokrasi
Thaha Husein, pakar pembaru pemikiran Islam asal Mesir menjelaskan bahwa siapa saja yang berusaha mengajak umat Islam, khususnya orang-orang Mesir untuk kembali kepada sikap hidup yang berlaku di zaman Fir’aun, di zaman Yunani-Romawi, atau di masa-masa permulaan Islam, akan dicemooh rakyat. Masyarakat termasuk kalangan konservatif dan mereka yang tidak senang dengan setiap usaha pembaruan ajaran Islam juga menilai bahwa kembali ke warisan kuno Islam adalah sikap yang keliru.
Lebih jauh Thaha mengatakan: “Kita harus menyadari pula bahwa tanda tangan yang kita bubuhkan dalam naskah-naskah perjanjian internasional, yang dengannya kita memperoleh kemerdekaan, dan dengannya pula kita terhindar dari kekalahan, jelas mewajibkan kita untuk mengikuti jejak bangsa-bangsa Eropa dalam pemerintahan, ketatanegaraan, dan dalam hukumnya.
Obsesi Thaha Husein untuk mengambil sistem pemerintahan demokrasi Barat didasarkan pada dua argument pokok. Pertama, beliau membuktikan bahwa tidak ditemukan ajaran mengenai sistem politik dalam Al-Qur’an. Kedua, beliau juga membuktikan bahwa sistem demokrasi itu mampu mewujudkan penegakan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi umat manusia menurut pesan Al-Qur’an, yaitu keadilan, kebajikan, kejujuran, membantu kaum yang lemah, dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, dan durhaka. Meminjam istilah Bertrand Russell bahwa demokrasi telah dapat mencegah penyalahgunaan terburuk dari kekuasaan.
Dalam prakteknya terlihat bahwa penyalahgunaan terburuk kekuasaan berupa ketidakadilan, tindakan sewenang-wenang, perampasan hak dan kebebasan, ketidakjujuran yang menyebabkan mundurnya suatu masyarakat, sering kali muncul sebagai akibat dari kekuasaan mutlak seorang raja atau presiden. Oleh karenanya, pemerintahan suatu negara tidak boleh diserahkan kepada satu orang saja, sungguh pun siapa dia. Kita tidak boleh mengandalkan kekuasaan dimonopoli oleh satu orang.
Di sini harus diletakkan gagasan Thaha Husein untuk mengambil sistem demokrasi Barat sebagai suatu yang absah menurut “pandangan” Al-Qur’an, dan untuk melihat keabsahannya kiranya perlu diketengahkan lebih dahulu pertanyaan-pertanyaan berikut. Pertama, mengapa harus demokrasi Barat? Kedua, bagaimana Al-Qur’an menganjurkan ditegakkannya keadilan, kebajikan, keterbukaan, kebebasan, membantu kaum lemah, melarang perbuatan yang tidak senonoh dan tercela, serta bagaimana kemungkinan nilai-nilai itu dapat ditegakkan dalam suasana kehidupan demokrasi.
Sebenarnya tidak ada kesulitan bagi umat Islam untuk mengambil sistem pemerintahan demokrasi itu karena beberapa alasan. Pertama, umat Islam sejak masa-masa awal perkembangannya telah berpaling dari sistem feodal yang mengandalkan keunggulan suku atau clan, serta tidak menjadikan kesamaan agama dan bahasa sebagai dasar pemerintahan.
Nabi saw membangun negara Madinah dan demikian juga sistem politiknya atas dasar kepentingan-kepentingan praktis. Kondisi ini terjadi sebelum abad II hijriyah berakhir, yakni ketika Daulah Ummayah di Spanyol menantang Daulah ‘Abbasiyyah di Baghdad. Keadaan ini berlanjut terus hingga berdirinya berbagai pemerintahan di negeri-negeri Islam yang di dasarkan atas kepentingan ekonomi dan geografis.
Kedua, sedemikian jauh pemikiran dan tingkah laku politik Barat telah menjadi pemikiran dan menjadi tingkah laku pemikiran umat Islam khususnya di Mesir. Umat Islam di berbagai wilayah dapat dengan mudah menerapkan sistem politik Eropa yang demokratis. Hal itu karena sistem demokrasi yang diterapkan di berbegai negara Eropa tadi mengedepankan prinsip kesetaraan bagi semua warga negara, memandang perlunya penegakan hukum yang adil dan netral serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Meskipun demikian tetap saja di berbagai wilayah Islam muncul godaan untuk menerapkan pemerintahan absolut. Yang saya maksudkan adalah bahwa pemerintahan absolut yang seringkali terjadi di negara-negara Muslim timbul disebabkan pengaruh pemerintahan absolut yang berkembang di Eropa sebelum munculnya paham demokrasi.
Demikian juga bentuk pemerintahan di negara-negara Islam yang terbatas itu dibentuk oleh sistem pemerintahan terbatas yang juga ada di Eropa sebelumnya. Artinya, umat Islam sudah sejak lama berkiblat ke Barat atau Eropa, jadi tidak perlu malu untuk mengadopsi system demokrasi yang ternyata mampu membawa Eropa ke arah kemajuan dan kesejahteraan seperti sekarang.
Menurut Thaha Husain, pemikir pembaruan Mesir, mereka yang berusaha melaksanakan pemerintahan absolut (tak terbatas) di Mesir modern lebih cenderung mengikuti pola Louis XIV di Perancis daripada mengikuti pola ‘Abd al-Hamid di Turki. Sisi lain yang lebih penting dari analisis ini adalah bahwa kecenderungan pemerintahan absolut yang seringkali muncul di berbagai dunia Islam di abad modern adalah disebabkan adaptasi dan peniruan yang sangat terlambat dan ketinggalan terhadap Eropa. Dengan demikian, ia melihat bahwa peniruan atau adopsi yang keliru terhadap Barat akan mendatangkan malapetaka bagi umat Islam
“Dan demikian Kami telah menjadikan kamu, ummatan wasathan agar kamu menjadi syuhada terhadap/buat manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi syahid terhadap/buat kamu…”
Dalam artikel ini tidak akan dibahas dengan rinci tentang ummatan wasathan. Ayat di atas dikutip sebagai pembuka pembicaraan mengenai kebhinekaan makna ummat yang terkandung dalam al-Qur’an.
Ayat yang penulis kutip di awal tulisan menggarisbawahi agar kamu (wahai umat Islam) menjadi saksi atas perbuatan manusia. Ini juga dipahami dalam arti bahwa kaum muslim akan menjadi saksi di masa datang atas baik buruknya pandangan dan kelakuan manusia.
Pengertian masa datang itu dipahami dari penggunaan kata kerja masa datang/mudhari/present tense pada kata li takunu. Penggalan ayat itu mengisyaratkan pergulatan pandangan dan pertarungan aneka isme. Tetapi pada akhirnya ummatan wasathan inilah yang akan dijadikan rujukan dan saksi tentang kebenaran dan kekeliruan pandangan isme-isme itu. Masyarakat dunia akan kembali merujuk kepada nilai-nilai yang diajarkan Allah, bukan isme-isme yang bermunculan setiap saat.
Ketika itu, Rasul akan menjadi saksi apakah sikap dan gerak umat Islam sesuai dengan tuntutan Ilahi atau tidak. Ini juga berarti bahwa umat Islam akan dapat menjadi saksi atas umat yang lain dalam pengertian di atas. Apakah gerak langkah mereka sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul SAW? Apakah mereka benar-benar menjadi umat Islam? Bukankah umat Nabi Muhammad SAW dinamai ummatan wasathan?
Mengenai kata ummat, memang banyak maknanya. Dalam al-Qur’an, kata ummat ditemukan muncul dalam bentuk tunggal sebanyak 52 kali dan dalam bentuk jamak sebanyak 12 kali.
Ad-Damighany, yang hidup pada abad ke-11 H, menyebut sembilan arti untuk kataummat yaitu (1) ushbah/kelompok, (2) millat/cara dan gaya hidup, (3) tahun-tahun yang panjang, (waktu) yang panjang, (4) kaum, (5) pemimpin, (6) Generasi, (7) umat Nabi Muhammad SAW (umat Islam), (8) orang-orang kafir secara khusus dan (9) makhluk (yang dihimpun oleh adanya persamaan antar-mereka).
Kita bisa berbeda pendapat tentang makna-makna di atas, namun yang jelas adalah QS. Yusuf ayat 45 menggunakan kata ummat untuk arti waktu, dan QS. Az-Zukhruf ayat 22 dalam arti jalan, atau gaya dan cara hidup. Sedang QS. Al-Baqarah ayat 213, dalam hemat penulis, menggunakannya dalam arti kelompok manusia dalam kedudukan mereka sebagai makhluk sosial.
Selanjutnya, gabungan dari firman-Nya yang menamai Nabi Ibrahim sebagai ummat(QS. An-Nahl ayat 120) sama makna dan kandungannya dengan kata imam, yakni pemimpin sebagaimana ditegaskan oleh QS. Al-Baqarah ayat 124. Benang merah yang menggabungkan makna-makna di atas adalah: “himpunan”.
Dari sini kita dapat berkata bahwa pada kata ummat terselip makna-makna yang cukup dalam. Ia mengandung arti gerak dinamis, arah, karena tidak ada arti satu jalan kalau tidak ada arah yang dituju dan jalan yang dilalui. Dan, tentu saja, perjalanan guna mencapai kejayaan umat memerlukan waktu yang tidak singkat sebagaimana diisyaratkan oleh salah satu makna ummat serta pemimpin, baik seorang atau sekelompok orang yang memiliki sifat-sifat terpuji dan dengan gaya kepemimpinan serta cara hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh anggota masyarakat bangsa itu.
Yang paling wajar dinamai ummat dari seluruh kelompok/himpunan apapun dari manusia adalah umat Nabi Muhammad SAW yang memang telah disiapkan Allah untuk menjadi Khaira Ummah (QS. Ali-Imran ayat 110).
Kata ummat, dengan kelenturan, keluwesan dan aneka makna di atas memberi isyarat bahwa Al-Qur’an dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok umat, betapapun kecil jumlah mereka, selama perbedaan itu tidak mengakibatkan perbedaan arah. Atau, dengan kata lain, selama mereka “Berbhineka Tunggal Ika”. Hakikat ini diisyaratkan antara lain oleh firman-Nya:
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”(QS. Ali-Imran/3: 105).
Kalimat “sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka” dipahami oleh banyak ulama berkaitan dengan kata berselisih, bukan dengan kata berkelompok. Dan ini berarti bahwa perselisihan itu berkaitan dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Adapun yang dimaksud dengan kata “berkelompok-kelompok”, maka ia dapat dipahami dalam arti perbedaan dalam badan dan organisasi.
Memang perbedaan dalam badan dan organisasi dapat menimbulkan perselisihan, walaupun tidak mutlak. Dari aneka organisasi lahir pula perselisihan dalam prinsip dan tujuan. Jika demikian, ayat ini tidak melarang umat untuk berkelompok, atau berbeda pendapat, yang dilarangnya adalah berkelompok dan berselisih dalam tujuan. Adapun perbedaan yang bukan pada prinsip atau tidak berkaitan dengan tujuan, maka yang demikian itu dapat toleransi, bahkan tidak mungkin dihindari.
Rasul SAW sendiri mengakuinya, bahkan Allah menegaskan bahwa yang demikian itulah adalah kehendak-Nya jua.
Sekiranya Allah menghendaki, misalnya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS. Al-Maidah/5: 48).
Demikian, wa Allah A’lam.
#muslimsejati
0
comentários:
Pegiat mahasiswa Muslim: Sistem kekhalifahan? No! Pancasila? Yes!
Walaupun terpecah secara politik, pegiat mahasiswa yang berlatar keislaman di Indonesia berada di jalur yang sama saat menghadapi gerakan radikal transnasional. Apa perekatnya?
Muhammad Nur Azami, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, bersama teman-temannya, tengah menyiapkan diskusi tentang sosok Pramoedya Ananta Toer, akhir April lalu.
Saya temui di sebuah taman di kampus Ciputat, mereka membagi undangan dan brosur dengan gambar sastrawan Pramudya - tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat, Lekra, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
"Tidak menjadi soal dan tabu membaca karya-karya Pram," seru Azami. Mulai kuliah empat tahun lalu, mahasiswa jurusan sejarah kebudayaan Islam ini - dan generasi seangkatannya - tumbuh dalam atmosfir kebebasan usai rezim otoriter Suharto runtuh.
Secara budaya dibesarkan dalam tradisi Nahdlatul Ulama, cara berpikir Azami pun terhubung erat dengan ideologi anak-anak muda NU yang dipengaruhi pemikiran Gusdur alias Abdurrahman Wahid.
Dalam lima belas tahun terakhir, wajah tradisional yang selama ini dilabelkan kepada kaum Nahdiyin seperti tertutupi cara berpikir progresif yang ditunjukkan anak-anak mudanya.
Memperhatikan pemikiran dan penyikapan Azami siang itu, saya kemudian teringat sosok Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Sahal - dua aktivis muda berlatar NU yang dikenal liberal.
Tipikal penganut Islam moderat, Azami pun tidak terlalu tegang ketika bergelut dengan berbagai tema, isu atau wacana yang selama ini dianggap terlalu sensitif.
Makanya, mereka hanya tertawa kecil ketika saya mengungkap sejumlah kasus pembubaran diskusi mahasiswa tentang tema 'kiri' oleh oleh kelompok-kelompok intoleran, belakangan ini.
"Kami sudah melewati tapal batas agama," kata Azami sambil tertawa. Tawa Azami siang itu kemudian menular pada rekan-rekannya yang berlatar aktivitas berbeda, mulai pecinta alam dan fotografi. Mereka memang tergabung secara cair dalam sebuah kelompok studi.
ISIS dan HTI mampir ke kampus Ciputat
Sebagai pegiat anti sektarian, Azami mengaku kaget ketika sekelompok orang mendeklarasikan dukungan kepada kelompok militan ISIS di kampusnya, kira-kira dua tahun silam.
Memang saat itu mulai merajalela dukungan terbuka terhadap kelompok tersebut, dan pemerintah Indonesia belum melarangnya - ketika itu. "Mereka bukan mahasiswa sini," katanya. "Mereka cuma menyewa ruangan saja."
Namun demikian, dia tidak memungkiri ada rekannya sesama mahasiswa di kampusnya mendukung sistem kekhalifahan, walaupun mereka menolak ISIS. Azami terus-terang menyebut Hizbut Tahrir Indonesia, HTI.
Apa yang bisa Anda katakan ketika paham transnasional seperti HTI menganggap sistem demokrasi penuh kebobrokan? Tanya saya. Seperti yang diyakini banyak orang, Azami pun mengatakan "sistem demokrasi masih relevan seperti masyarakat multikultural Indonesia".
Menurutnya, tidak ada jaminan jika sistem diubah, maka semua masalah bakal tuntas. "Jadi, di sini masalahnya bukan mengubah sistem, tapi bagaimana mengubah karakter pejabatnya," kata aktivis organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, PMII, yang secara ideologis segaris dengan NU.
Dalam beberapa kesempatan, katanya, pihaknya pernah terlibat diskusi dengan aktivis HTI tentang konsep kekhilafahan. Dan menurutnya, ketika pertanyaan menjurus "siapa yang akan menjadi pemimpin dalam sistem kekhalifahan", Azami menganggap para aktivis HTI kebingungan untuk menjawabnya.
"Dan bagi saya seorang anak muda Muslim, sistem demokrasi sudah diterapkan oleh Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah," paparnya.
Kepada lawan diskusinya dari HTI, Azami pun mengutarakan: "Indonesia adalah negara yang sangat beragam, bagaimana pun Pancasila merupakan azas yang sangat Islami".
Dia juga mengingatkan kembali tentang peran pendiri negara Indonesia yang sebagian adalah para pemimpin Islam, selain nasionalis dan sosialis.
"Tentu saja demokrasi Pancasila yang didirikan para founding fathers kita masih relevan hingga saat ini," kata Azami, sekaligus mengakhiri pertemuan siang itu.
KAMMI menolak negara Islam
Yulianto Agung Prabowo, kelahiran 1988, masih ingat kesan awalnya terhadap organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, KAMMI, yang kelak mendorongnya untuk bergabung di dalamnya.
Kejadiannya kira-kira sepuluh tahun silam. Sebagai mahasiswa baru di Fakultas Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh November, ITS, Surabaya, dia mengaku didekati oleh kakak klasnya sekaligus aktivis KAMMI.
Awalnya, Agung - begitu sapaannya - mengaku cuek. Tapi sang senior tak menyerah. "Dia terus mengajak saya ngobrol, membantu saya dalam hal apa pun." Pada akhirnya pria asal Brebes, Jateng ini pun luruh setelah melalui diskusi panjang.
Sejak saat itulah dia bergabung KAMMI. Tapi ada satu hal yang membuatnya terkesan - dan diingatnya terus hingga sekarang. "Tidak ada satu pun anggota KAMMI yang merokok," ungkapnya.
Dibesarkan dari rahim kumpulan lembaga dakwah di masjid-masjid kampus, organisasi berlabel Islam ini dilahirkan setelah Suharto turun dari kursi presiden pada 1998. Di kalangan para pegiat kemahasiswaan, KAMMI dikenal militan, puritan dan organisasinya dikenal rapi.
Akhir April lalu, saya bertemu Agung di sebuah rumah makan di jalan Manyar, Surabaya. Kini dia menjabat Ketua KAMMI Jawa Timur. Dia ditemani Gunarko Aryanto, ketua KAMMI Surabaya - mereka sesama sarjana (S1) Teknik Elektro ITS.
Bukan hal aneh ketika ada yang mengaitkan KAMMI dengan organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir, melalui gagasan dan ideologinya. Hal ini didasarkan sejarah kelahirannya dari lembaga dakwah kampus, yang melalui tokoh-tokoh pendirinya terkait dan terinspirasi oleh organisasi Ikhwan. Di awal perjalanannya pun KAMMI menuntut penghapusan asas tunggal Pancasila.
Apakah Anda bergabung KAMMI karena organisasi ini mendukung pendirian negara Islam di Indonesia? Tanya saya. Agung mengatakan visi besar organisasinya tidak mengenal tujuan seperti itu.
Walaupun demikian, Agung sempat curiga ide pendirian negara Islam adalah tujuan KAMMI. Dia lantas menceritakan isi pertanyaannya kepada sang senior yang membujuknya untuk bergabung KAMMI, kira-kira 10 tahun silam
"Ini mengarah ke situ (ke pendirian negara Islam), enggak? Karena saat itu isu NII (Negara Islam Indonesia) juga sangat gencar sekali."
Jawaban sang senior melegakan Agung. Dan sore itu, Agung menyimpulkan: "Saya selama 10 tahun (menjadi anggota KAMMI) tidak ada diajarkan untuk mendirikan negara Islam."
Konsensus Pancasila
Lantas, bagaimana dengan konsep khilafahyang digaungkan HTI untuk menggantikan sistem demokrasi Pancasila? Saya bertanya lagi.
"Jangan 'kan masalah khilafah, negara Islam pun kita tidak mengajarkan ke sana," Agung kembali menegaskan.
Dia lantas mengingatkan saya konsensus para pendiri bangsa Indonesia, termasuk para pemimpin Islam, yang menyatakan Pancasila sebagai ideologi negara. "Ini konsensus yang harus kita jaga."
"Sehingga kita menolak konsep menggantikan NKRI dengan khilafah," tegas Agung.
Lagipula, menurut Gunarko Aryanto, sistem kekhalifahan yang ditawarkan oleh HTI tidak diterima oleh mayoritas warga Indonesia. "Jadi, saya pikir percuma saja," kata Gunarko, kelahiran 1991, yang juga ketua KAMMI Surabaya.
Menurutnya, ada cara-cara lain misalnya melalui reformasi untuk memperbaiki keadaan di Indonesia saat ini, tanpa harus mengubah sistemnya.
Dan, bagaimana tanggapan Anda terhadap anggapan sebagian warga Indonesia yang menyebut Pancasila itu merupakan produk sekuler? Saya bertanya lagi.
"Harus melihat sejarah, bahwa negara ini didirikan dengan konsensus yang melibatkan tokoh-tokoh Islam juga," ujar Gunarko yang juga alumni ITS Surabaya.
Dan, "mananya yang sekuler? Di sila yang mana? Ketuhanan yang maha Esa adalah Tauhid," tegas pria asal Jakarta ini.
Agung kemudian menambahkan, jika ada yang menilai Pancasila adalah produk sekuler, orang-orang itu tidak memahami sejarah Islam di Indonesia. "Dan mereka tidak memahami bahwa para ulama itu ikut memperjuangkan Pancasila
Demokrasi adalah sebuah tatanan, bentuk atau mekanisme sistem suatu Negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas Negara untuk dijalankan oleh pemerintah Negara tersebut. Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung dan adil, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sampai saat ini demokrasi masih dianggap sebagai bentuk pemerintahan paling baik dan menjadi tolak-ukur atas keberhasilan, kesuksesan dan kemakmuran suatu Negara. Di dunia baratlah awal pertama kali diagung-agungkannya demokrasi sebagai suatu mekanisme pemerintahan, dan setelah beberapa abad berlalu, paradigma tersebut semakin menjalar ke seluruh penjuru dunia. Paradigma seperti ini yang mempengaruhi kita Sehingga seakan-akan kita menganggap demokrasi sebagai benih-benih yang berasal dari budaya-budaya barat atau sesamanya. Saya rasa paradigma seperti ini perlu kita tela'ah lagi, karena jauh berabad-abad sebelumnya, Islam sudah mendengungkan demokrasi dalam pemerintahannya, yang menjadikan Islam sebagai induk dari segala bentuk demokrasi. Menurut Sadek. J. Sulayman, dalam demokrasi terdapat beberapa prinsip baku yang harus diaplikasikan dalam sebuah Negara demokrasi, di antaranya: (1) kebebasan berbicara bagi seluruh warga. (2) pemimpin dipilih secara langsung yang dikenal di Indonesia dengan pemilu. (3) kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan yang minoritas. (4) semua harus tunduk pada hukum atau yang dikenal dengan supremasi hukum. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan Islam. Kenyataan ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya mekanisme kepemimpinan dalam Islam yang tidak dianggap sah kecuali bila dilakukan dengan bai'at secara terbuka oleh semua anggota masyarakat. Seorang khalifah sebagai pemimpin tertinggi tidak boleh mengambil keputusan dengan hanya dilandaskan pada pendapat dirinya belaka, ia harus mengumpulkan pendapat dari para cendikiawan atau ahli pikir dari anggota masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut juga sejalan dengan sejarah para khalifah-khalifah dunia Islam pada saat awal munculnya Islam, seperti khutbah Abu Bakar yang diucapkan setelah beliau terpilih sebagai khalifah pertama, "Wahai sekalian manusia, kalian telah mempercayakan kepemimpinan kepadaku, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika kalian melihat aku benar, maka bantulah aku, dan jika kalian melihat aku dalam kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, maka bila aku tidak taat kepada-Nya, janganlah kalian mentaatiku." Dari pidato singkat beliau, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sahnya pada saat itu, masyarakat di hadapan hukum sudah dianggap mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu, bila saja beliau (Abu Bakar) melakukan sebuah kesalahan, beliau meminta untuk diingatkan atau ditegur. Kenyataan ini merupakan suatu fakta bahwa benih-benih demokrasi sudah dimunculkan oleh Islam jauh sebelum para Negara-negara sekuler mengagung-agungkan demokrasi. Dalam Islam, demokrasi bukan hanya sekedar pemilihan pemimpin serta anggota parlemennya secara langsung, akan tetapi pengertian demokrasi dalam Islam lebih luas dan menyeluruh dari anggapan tersebut. Terdapat banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan asas-asas demokrasi itu sendiri: "... sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka ..." (Asy-Syura 38) dan "... karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..." (Ali Imran 159). Ayat ini mengandung sebuah anjuran agar kita selalu mengaplikasikan demokrasi terhadap segala bentuk bidang kehidupan, baik dalam berumah tangga, bermasyarakat atau bernegara. Kandungan ayat tersebut sangat menganjurkan adanya saling bermusyawarah dalam menetapkan sebuah keputusan, asas ini yang menjadi prinsip demokrasi saat ini setelah beberapa abad sebelumnya Islam telah mendengungkannya. Alangkah indahnya berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara bila semua keputusan dilandaskan pada permusyawarahan. Ini merupakan sebuah asas yang mungkin harus dimiliki oleh Negara-negara demokrasi atau rumah tangga. Karena baik sebuah Negara yang sekalipun pimpinannya dipilih secara langsung akan tetapi tidak mengenal istilah musyawarah, maka pemerintahan tersebut tidak akan efektif. Bila kita lihat kenyataan ini, kiranya tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa Islam adalah induk dari segala bentuk demokrasi, yang memberikan asas-asas demokrasi itu sendiri.
0 comentários: