Social Share Icons

Namanya Mariam Abdullah. Wanita asal Bandung Jawa Barat ini memiliki empat orang anak, satu remaja putri yang masih polos bernama Nabila, dan tiga anak lainnya masih kecil-kecil.

Saat saya menulis ini, dia tengah berada di Kamp Al Hol, Provinsi Al Hasakeh, Suriah. Dia berada di sana, setelah keluar dari pertahanan terakhir ISIS di Baghouz, setelah berhasil dipojokkan pasukan Suriah dan milisi Kurdi.

Suaminya bernama Saifuddin, yang saat ini entah dimana, tidak diketahui keberadaannya. Masih hidup atau mati.

Di pengungsian yang berjarak 60-70 jam jalan kaki dari Baghouz itu, mereka bersama ribuan keluarga ISIS lainnya, berasal dari berbagai negara.

Di kamp yang hanya menampung 10 ribu orang itu, terdapat 60-70 ribu orang pengungsi. Di pengungsian yang melebihi kapasitas itu, sanitasi dan cuaca musim dingin pun menjadi ancaman. Penyakit hipotermia dan penyakit menular lainnya kini tengah menghantui.

Entah sejak kapan Mariam dan anak-anaknya, diajak sang kepala keluarga, Saifuddin berangkat ke Suriah, bergabung dengan ISIS. Entah apa janji ISIS kepada mereka, sehingga satu keluarga rela meninggalkan NKRI demi bergabung dengan ISIS.

JANJI MANIS KHILAFAH

Sejak mendeklarasikan diri, ISIS gencar menipu orang-orang yang sangat mencintai Islam tapi minim pengetahuan agama di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Medio 2015, puluhan keluarga Indonesia berhasil dirayu untuk pindah menjadi warga negara ISIS.

Nurshadrina Khaira Dhania adalah salah satunya. Kecintaannya kepada agama berhasil ditipu, dimanipulasi ISIS. Saat berusia 16 tahun, dia mengenal ISIS dari pamannya, Imam Santoso. Dia pun mulai mengagumi ISIS dengan membaca berbagai propaganda manis tentang negara Islam dengan kepemimpinan Khilafah. Baginya saat itu, ISIS seperti wilayah yang mempraktekkan ajaran agama Islam yang sesungguhnya seperti di zaman Rasulullah SAW.


Dijanjikan hutang keluarga dilunasi, diberi uang tiap bulan, diberikan rumah gratis, pengobatan, sekolah dll gratis, dia pun berhasil meyakinkan keluarganya untuk berangkat ke Suriah melalui Turki.

Setibanya di sana, apa yang dijumpainya sangat lah berbeda dari janji-janji manis ISIS. Tidak ada praktek seperti di zaman Rasulullah SAW. Yang ditemui hanyalah asrama yang kotor, perkelahian, dan hal buruk lainnya. Dia pun dua kali terancam akan dinikahi militan ISIS, beruntung dia berhasil menolak. Hingga akhirnya, dia berhasil kabur dan kembali ke Indonesia di tahun 2017.

Cerita di atas adalah fakta bahwa banyak sekali janji-janji manis perubahan kehidupan dengan mengatasnamakan agama, padahal semuanya adalah palsu. Demi kepentingan nafsu serakah meraih kekuasaan, sentimen agama digunakan untuk menarik simpati dan dukungan.

Tapi, semua itu berujung pada penyesalan yang tiada akhir.

NKRI saat ini memang belum mencapai yang dicita-citakan pendiri bangsa ini. Semuanya, masih dalam tahap proses, penuh tantangan, dan perjuangan.

Tidak ada kata mudah dalam mencapai keadilan dan kemakmuran, jika ada yang bilang itu bisa dicapai dalam lima tahun, sudah pasti itu hanya propaganda dan janji kampanye yang tidak ada akan dia wujudkan setelah berkuasa. Apalagi jika tidak ada pengalaman kerja membangun bangsa ini dengan di masa lalunya atau bahasa kerennya tidak punya track record.

32 tahun dipimpin rezim diktator Orde Baru membuat Indonesia saat ini banyak tertinggal. Di tengah saat ini Indonesia mengejar revolusi 4.0, negara lain justru tengah mewujudkan 5.0.

Kita disibukkan dengan isu agama yang tidak berkesudahan. Negara lain sibuk dengan teknologi ke bulan, motor terbang, artificial intelegence, sementara kita masih sibuk meng-Kafir-kan orang lain dari bulan ke bulan.
#muslimsejati
Sumber :https://www.harakatuna.com/dikibuli-khilafah.html

0 comentários:

Pancasila Sebagai Pelindung Ideologi Radikalisme

Pancasila diakui negara sebagai falsafah hidup, cita-cita moral, dan ideologi bagi kehidupan berbangsa. Pancasila diyakini mampu menyaring berbagai pengaruh ideologi yang masuk ke Indonesia sebagai konsekuensi logis dari sebuah masyarakat dan bangsa yang majemuk (bhineka).
Dalam menghadapi ancaman terorisme di Indonesia, penanggulangan yang dipilih harus senantiasa berlandaskan Pancasila, seta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penghormatan dan perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip utama kebijakan, strategi, dan upaya-upaya yang dijalankan. Selain itu, nilai-nilai keberagaman bangsa Indonesia dapat digali dari Pancasila karena di dalamnya mengandung filosofi berbangsa dan bernegara.
Filosofi tersebut tentunya masih memerlukan pemaknaan lebih lanjut agar dapat memperoleh nilai (value), sebagi rujukan konsep keberagaman bangsa. Karakteristik keberagaman bangsa memiliki arti yang luas, di mana di dalamnya turut mengantisipasi bahaya akan gerakan-gerakan radikalisme.
Bangsa Indonesia tidak menafikan kehadiran budaya luar maupun ideologi luar, tapi melalui Pancasila negara dapat memilah pengaruh mana yang dapat diterima atau tidak. Negara juga mampu menyesuaikan pengaruh luar tersebut dengan konteks budaya Indonesia ataupun menolak karena tidak sesuai dengan falsafah, cita-cita, moral, dan ideologi nasional.
Penanggulangan terorisme melalui pendekatan lunak memerlukan landasan idiil yang komprehensif. Pancasila diyakini sebagai salah satu pendekatan lunak yang selaras dengan perwujudan program deradikalisasi.  Selain itu, pancasila turut berfungsi sebagai falsafah hidup berbangsa serta ideologi nasional, yang konsep dan visinya dapat dijabarkan ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Terdapat lima sila yang secara komprehensif menjabarkan arti kehidupan bernegara yang dapat dijadikan landasan melawan ancaman ideologi radikal.
Sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini mengandung makna tauhid, toleransi dan kemajemukan, dan moderat yang seimbang. Dalam konteks hubungan antarumat beragama, Pancasila menolak pemaksaan kehendak oleh pribadi maupun kelompok terhadap satu sama lain berdasarkan penafsiran agama yang dianggap paling benar.
Ideologi fundamentalis radikal bertentangan dengan Pancasila karena ia memaksakan kehendak dengan menolak memberikan ruang kepada penafsiran yang berbeda. Pernyataan kebenaran yang absolute seperti itu akan merusak tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang memiliki ciri pluralis.
Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini mengandung makna pengakuan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak sipil, politik, ekonomi, dan hak sosial budaya. Dengan demikian, pemaksaan kehendak oleh kelompok radikal secara hakiki bertentangan dengan Pancasila karena jelas melanggar HAM yang menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sila Ketiga, Persatuan Indonesia Sila ini mengandung makna bahwa Indonesia adalah negara yang dibentuk bedasarkan asas kebangsaan, bukan atas dasar agama, suku, atau ras tertentu. Kelompok fundamentalis radikal yang ingin mengganti asas kebangsaan dengan asas yang lain, berarti ingin mengubah dasar NKRI dari negara kebangsaan menjadi negara Islam. Hal ini tentunya jelas yang bertentangan dengan landasan ideologi nasional Pancasila.
Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila ini mengandung arti bahwa sistem kemasyarakatan dan kenegaraan di Indonesia harus berlandaskan pada prinsip demokrasi. Kedaulatan berada di tangan rakyat yang jelas bertentangan dengan sistem totaliter yang ingin didirikan oleh kelompok fundamentalis radikal.
Pada umumnya ideologi radikal menoloak kedaulatan rakyat dan hanya mengakui kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan melalui sistem teokrasi.
 Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini mengandung makna bahwa kesejahteraan menjadi hak warga negara Indonesia. Pemerintah sebagai penyelenggara negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Hal ini berarti sistem totaliter yang eksploitatif bertentangan dengan Pancasila karena ia tidak mengakui adanya hak bagi warga negara untuk memperoleh kesejahteraan sebagai hak dasar mereka.Ideologi radikal merupakan ancaman yang membahayakan kehidupan bermasyarakat Indonesia, serta mampu mengganggu disintegrasi bangsa. Melalui Pancasila, negara wajib hukumnya untuk melindungi rakyatnya dari penafsiran ilmu keagamaan yang salah. Negara memiliki hak untuk menumpas segala bentuk ideologi radikal yang berpotensi merusak tatanan kehidupan rakyat Indonesia.
Pancasila harus tetap dipegang sebagai dasar negara untuk melawan ancaman radikal yang saat ini keberadaannya terus berkembang di wilayah NKRI. Dasar-dasar Pancasila pada akhirnya diyakini sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia untuk terus mengawal masa kemerdekaannya.

0 comentários:

Demokrasi dalam Islaml

Demokrasi dalam Islam
Berangkat dari sebuah kisah para sahabat, sejarah para khalifah-khalifah dunia Islam pada saat awal munculnya Islam, seperti khutbah Abu Bakar yang diucapkan setelah beliau terpilih sebagai khalifah pertama, “Wahai sekalian manusia, kalian telah mempercayakan kepemimpinan kepadaku, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika kalian melihat aku benar, maka bantulah aku, dan jika kalian melihat aku dalam kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, maka bila aku tidak taat kepada-Nya, janganlah kalian mentaatiku.”Dari pidato singkat beliau, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sahnya pada saat itu, masyarakat di hadapan hukum sudah dianggap mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu, bila saja beliau (Abu Bakar) melakukan sebuah kesalahan, beliau meminta untuk diingatkan atau ditegur. Kenyataan ini merupakan suatu fakta bahwa benih-benih demokrasi sudah dimunculkan oleh Islam jauh sebelum para Negara-negara sekuler mengagung-agungkan demokrasi. Demokrasi adalah tatanan hidup bernegara dan mempunyai prinsi-prinsip yang disyaratkan untuk menjadi sebuah komunitas yang berdemokrasi. Menurut Sadek. J. Sulayman, dalam demokrasi terdapat beberapa prinsip baku yang harus diaplikasikan dalam sebuah Negara demokrasi, di antaranya: (1) kebebasan berbicara bagi seluruh warga. (2) pemimpin dipilih secara langsung yang dikenal di Indonesia dengan pemilu. (3) kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan yang minoritas. (4) semua harus tunduk pada hukum atau yang dikenal dengan supremasi hukum. Dan prinsip-prinsip diatas sesuai dengan syariat islam yang juga menjunjung tinggi sebuah kebebasan, mulai dari kebebasan jiwa yang harus dijaga, kebebasan untuk mengelola harta dan juga kebebasan berpendapat. Bahkan dalam islam sendiri tidak mengenal pemaksaan untuk memeluk agama nya, hanya saja ada kewajiban mengajak kepada syariat islam yang disebut dakwah, tapi semua diserahkan kepada hidayah dari Allah nantinya. Misalnya lagi mekanisme pemimpin dalam islam juga sejalan dengan prinsip-prinsip diatas, dalam sebuah hadis rasulullah menganjurkan untuk memilih pemimpin dari sekelompok orang atau komunitas, dan juga kepemimpinan dalam Islam yang tidak dianggap sah kecuali bila dilakukan dengan bai’at secara terbuka oleh semua anggota masyarakat. Seorang khalifah sebagai pemimpin tertinggi tidak boleh mengambil keputusan dengan hanya dilandaskan pada pendapat dirinya belaka, ia harus mengumpulkan pendapat dari para cendikiawan atau ahli pikir dari anggota masyarakat. Menurut DR. Yusuf Qardhawi substansi demokrasi sejalan dengan  islam, hal ini bisa dilihat dari bebrapa hal, misalnya:
  1. Proses pemilihan pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat banyak, dan dalam islam hal ini contohnya menjadi imam shalat saja islam melarang imam yang tidak disukai oleh makmumnya.
  2. Pemilihan umum termasuk pemberian saksi, makanya barang siapa yang menolak untuk ikut dalam pemilihan dan kandidat yang baik kalah karena banyak yang tidak ikut memilih maka yang menang adalah kandidat yang tidak selayaknya, maka orang ini melanggar ajaran Allah untuk memberikan kesaksian disaat dibutuhkan.
  3. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas, dalam islam ada istilah syura. Yaitu musyawarah. “… sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka …” (Asy-Syura 38)dan “… karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran 159).
  4. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan islam.
Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa demorasi yang dikenal hari ini adalah tatanan hidup yang jauh hari telah dicontohnya oleh umat islam, dan menjadi sebuah jaminan kejayaan suatu negara kalau benar-benar menerapkan sistem demokrasi tersebut. Hanya saja banyak dikalangan negra demokrasi yang hanya menggemborkan demokrasi tapi jauh dari nilai dan praktek demokrasi itu sendiri. Misalnya Amerika dikenal dengan negara demokrasi, tapi negeri adi daya itu tetap menjadi penjahat HAM, membunuh jiwa-jiwa yang tak berdosa, mendukung penjajahan zionis Israel. Mereka berkoar-koar tentang tatanan demokrasi tapi aplikasi dari nilai-nilai dan prinsip demokrasi itu sendiri masih jauh dan hanya omong kosong. Waalhualam bishowab.

0 comentários:

Perlukah Jihad di Negara Demokrasi?

Image result for jihad di demokrasi

Syariat Islam diturunkan untuk menjamin lima kebutuhan prinsipil dalam kehidupan manusia. Yaitu nyawa, keyakinan, akal pikiran, harta kekayaan dan keturunan. Para ulama menyebutnya kulliyatul khams. Sebagian para sarjana menyebutnya maqashid syariahobjective of shariah, atau philosophy of islamic law (filsafat hukum Islam). Ini kajian penting dan tidak boleh dilewatkan oleh orang-orang yang belajar hukum Islam.
Nah, jaminan terhadap kelima kebutuhan di atas dapat terwujud secara efektif melalui instrumen negara. Negara yang dapat menjamin keterpenuhan  kelima prinsip pokok di atas sama dengan menjamin terlaksananya syariat Islam. Sampai di sini ada pandangan unik dari seorang ulama kenamaan Tunisia. Ibnu Ashur (w.1973). Menurutnya, negara-negara demokratis pada prinsipnya telah memberikan jaminan lima prinsip itu.
Ibnu Ashur, salah seorang ulama terkemuka yang juga rektor Universitas Zaitunah, Tunisia, pernah menyatakan dalam bahwa negara yang paling islami adalah Amerika Serikat. Dia melihat demokrasi sebagai ‘illat atau alasan rasional mengapa Amerika Serikat saat itu disebutnya islami. Dibanding kekhalifahan Turki Usmani, atau kerajaan-kerajaan Muslim.
Ibnu Ashur mengkritik Ali Abd Raziq yang menyatakan Islam tidak pernah hadir dalam bentuk negara. Lebih-lebih model kekhalifahan. Menariknya, Ibnu Ashur juga tidak mendukung paham Pan-Islamisme mendukung kekhalifahan Turki saat itu. Ibnu Ashur malah mendukung demokrasi.
Saya menduga kuat, alasan utamanya adalah karena demokrasi menyediakan ruang bagi terlaksanakannya syariat Islam yang lebih adil di antara sesama umat Islam, bahkan berbagai kelompok sosial lain, dibanding model kekhalifahan. Negara yang menerapkan demokrasi yang mengizinkan warga negaranya melaksanakan ajaran agamanya, mendakwahkan dengan baik, dan memberikan perlindungan kepada penganutnya, tidak boleh dijadikan musuh, apalagi menjadi sasaran serangan dalam konteks jihad.
Baca Juga :  K.H. Ali Mustafa Yaqub: Jihad Bukan Terorisme dan Terorisme Bukan Jihad
Saya ingat Syekh Abu Bakr Syato, pengarang Syarah Fathul Muin pernah menulis dalam bab jihad. Jihad adalah sarana (wasilah). Tujuan atau ghoyah-nya adalah sampainya pesan Islam melalui dakwah. Jika dakwah dapat dilakukan dengan bebas, orang dapat melaksanakan ajaran agamanya, maka dengan sendirinya jihad-qital tidak diperlukan.
Negara seperti Indonesia yang dihuni mayoritas Muslim, dikuasai oleh politikus-politikus Muslim dengan beragam gagasan politiknya, terjaminnya kesempatan pemenuhan lima kebutuhan dasariah warganya, kebebasan mendakwahkan dan menjalankan agama, yang dibangun dengan darah umat Islam adalah salah bila dianggap sebagai ‘musuh agama’, ‘musuh Tuhan’, yang harus diperangi.
Hari-hari ini, sebagian anak bangsa yang kehilangan memori historisnya, sedang berupaya mendeligitimasi eksistensi negara tempat mereka tinggal dan hidup. Mereka menggunakan dalil-dalil agama, teks-teks Alquran dan Hadis, yang dalam pandangan mereka telah mengecam realitas ekosospolbud mereka.
Padahal, menggunakan dalil-dalil agama untuk mendeligitimasi eksistensi negara Indonesia adalah sebuah upaya destruktif dan merusak yang dapat menghantarkan bangsa yang damai ini kepada perang saudara: terabaikannya kulliyatul khams dari kehidupan masyarakat banyak. Di sini, sepertinya teks-teks agama dibaca, dipahami pengertian tekstualnya, namun pada saat yang sama diabaikan tujuan-tujuannya yang berintikan serangkain virtue atau nilai kebajikan. Jadinya, orang beragama dengan spirit vandalistik.
Saya sih sayang bangsa dan negara. Sayang keluarga, sayang kawan dan saudara. Ngeri kalau kami harus saling bunuh. Lebih sayang lagi sama agama. Gak tega jika agama yg tujuan diturunkannya sebagai rahmat, malah jadi niqmat alias bencana. Apa gak bisa sih beragama yang konstruktif dan positif? Saya kira kok penting yah memahami filosofi syariah dalam konteks berbangsa dan bernegara. Biar kayak Syekh Ibnu Ashur dan Syekh Abu Bakr Syato itu.

0 comentários:

Demokrasi dalam sudut pandang Islam
50
8390 1 3

Demokrasi dalam sudut pandang IslamDemokrasi 
Berbicara tentang paham demokrasi itu menarik, banyak negara yang saat ini menganut paham ini. Salah satunya ialah negara kita sendiri yaitu negara Indonesia. Demokratis seringkali disebut-sebut dan dipandang sebagai sistem yang paling adil untuk penyusunan dan penegakan hukum. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dari zaman yunani kuno hingga sekarang, mayoritas teoritikus di bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi. Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi baru-baru ini saja. Pada kesempatan kali ini penulis akan sedikit memaparkan tentang demokrasi dan dan bagaimana pandangan Islam terhadap paham demokrasi.
Menurut asal katanya demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau goverment rule the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa).  Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik didalam sistem politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan preformansi politik diberbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini. Demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satupun tanggapan yang menolak “Demokrasi” sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana barat dan timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi studi-studi tentang demokrasi.[1]
Pandangan Islam tentang Demokrasi 
Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dibuang, demikian pula dengan peraturan baru yang sesuai keinginan dan tujuan masyarakat itu sendiri dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali maupun hasil keputusan berpatokan pada hukum Allah SWT. Masyarakat tidaklah diberi kebebasan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at Islam. Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada  ulil amr (pemerintah). Syura (Musyawarah) terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash namun memiliki indikasi beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.
Menurut Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik dengan praktik demokrasi barat.[2]
Adapun dasar-dasar musyawarah sebagaimana yang sudah digariskan oleh Al-qur’an dapat dijumpai dalam surah Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi sebagai berikut.
maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjatuhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membetulkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakal kepada-Nya. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 159.
Kemudian di dalam surah Asy-Syuura ayat 38 Allah berfirman:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
            Tentang siapa yang berhak untuk diajak musyawarah (anggota musyawarah) Islam tidak ada aturan pasti, oleh karenanya menjadi wewenang manusia untuk menetukannya.
Rasulullah tidak membuat kaidah-kaidah syura (kaidah musyawarah ) karena beberapa hikmat dan sebab:[3]
  • Kaidah-kaidah syura bisa berlain-lainan menurut perkembangan masyarakat (bangsa), masa dan tempat.
  • Seandainya Nabi telah menentukan kaidah-kaidah Syura saat itu, maka menjadilah kaidah-kaidah itu sebagai hukum agama yang wajib ditaati dan wajib dilaksanakan di semua masa dan tempat. Kaidah-kaidah yang ditetapkan pada masyarakat yang sistemnya masih sederhana, tentu tidak akan sesuai lagi untuk masa-masa kemudian.
  • Inilah sebabnya para sahabat berkata, ketika mereka memilih Abu bakar: “Rasulullah telah menyukainya untuk menjadi imam kita di dalam sembahyang. Apakah kita tidak menyukai dia untuk menjadi kepala negara kita?”
  • Berbeda dengan zaman Nabi, tindakan-tindakan pemerintahan Abasiyah (sebagai contoh kasus) bisa menimbulkan dugaan atau anggapan bahwa kekuasaan dalam Islam bersifat otoriter dan tidak demokratis.
  • Sekiranya kaidah-kaidah syura itu ditetapkan sendiri oleh Nabi tidak menjalankan musyawarah. Syura (musyawarah) mengandung beberapa kemanfatan:
  • Digunakan pertimbangan akal dan paham, serta memperhatikan kemaslahatan masyarakat.
  • Menggali apa yang tersembunyi. Akal manusia selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan musyawarah akan dapat dilakukan kajian dan tinjauan dari macam-macam aspek yang menyangkut banyak segi, karena terdapatnya banyak pemikiran dan usulan.
  • Menghasilkan pendapat-pendapat benar dan terbaik, dengan dasar yang kuat dengan bertemunya berbagai pemikiran dari banyak orang.
  • Menciptakan suasana persatuan dan kesatuan dalam pelaksanaan dan penyelesaian masalah, karena banyak orang yang dilibatkan didalamnya.
[1] Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 195.
[2] Ibid hal 220.  
[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, 1995, PT Pustaka Rizki Putra:Jakarta, hal 717-721.

0 comentários:

Alasan Para Ulama NU Tidak Menerapkan Sistem Khilafah dan Negara Islam di Indonesia

MusliModerat.Com - Mungkin ada diantara kita yang pernah terlintas dalam pikiran, yaitu: “Mengapa para ulama khususnya di Nahdlatul Ulama tidak menerapkan hukum Islam di Indonesia setelah kemerdekaan padahal kondisinya saat itu sangat memungkinkan? Mengapa pula penerus perjuangan NU hingga saat ini tetap mempertahankan negara ini dan tidak merubahnya menjadi sistem Islam seperti khilafah?”

Terlebih saat ini begitu marak kelompok yang memperjuangkan sistem negara Islam, baik yang berbentuk khilafah, piagam Jakarta, Perda Syariah dan lain sebagainya. Hal yang semacam ini kerap memunculkan propaganda yang menyudutkan NU, misalnya “NU yang murni adalah NU yang memperjuangkan Khilafah”, hingga mengakibatkan anak-anak muda NU, akademisi, pekerja profesional dan masyarakat awam sekalipun yang demam istilah “Syariah”, membuat mereka berpindah haluan secara ‘politik’ dan menjadi sipatisan mereka, meski secara amaliyah mereka tetap mengamalkan amaliyah NU.



NU bukan paranoid terhadap sistem Negara Islam, NU bukan berarti anti terhadap yang berbau “Syariah Islam”. Sebab bagaimana mungkin NU alergi kepada Islam padahal ruh Nahdlatul Ulama adalah Islam itu sendiri? NU menerima Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah sebagai strategi untuk menjalankan ajaran Islam secara merdeka bagi umat Islam di Indonesia tanpa ada disintegrasi bangsa, tanpa perang, tanpa kekerasan dan lainnya sebagaimana Rasulullah Saw menerima perjanjian damai Hudaibiyah yang seolah merugikan Islam, namun kenyataannya disanalah titik balik menyebarnya Islam tanpa perang dan senjata.
Saya baru bisa memahami secara utuh tentang sikap dan landasan ulama NU diatas setelah sering mengikuti Bahtsul Masail di NU, kajian Aswaja dari Ust. Idrus Ramli, riwayat kisah NU melalui Kyai As’ad yang disampaikan Gus Sholahuddin Mujib dan sebagainya. Semoga secuil tulisan ini bermanfaat.


Formalitas Agama Bukan Segalanya

Ketika Orde Baru berupaya memberangus Ormas Islam di tahun 80-an, kala itu Presiden Suharto menerapkan peraturan Azaz Tunggal Pancasila. Yang ia harapkan, jika ada ormas Islam yang menolaknya maka dengan mudah ‘diberhentikan’. Namun, Suharto salah prediksi, sebab ternyata NU menerima Azaz Tunggal Pancasila, sehiangga Suharto tidak punya alasan untuk membubarkan NU.



Telah sampai kepada saya riwayat dari Gus Sholahuddin, putra Kyai Mujib Ridlwan Abdullah, beliau dari ayahnya Kyai Mujib, bahwa awalnya Kyai As’ad di masa itu tidak menerima adanya Azaz Tunggal Pancasila. Bagi kyai pelaku sejarah NU ini, Islam tidak bisa diganti dengan apapun termasuk dengan Pancasila. Kyai As’ad berkata kepada Kyai Mujib: “Tidak bisa Pak Mujib. Islam tidak bisa diganti dengan Azaz Tunggal. Kalau Suharto masih meneruskan ini, kita harus Sabil (perang), Pak Mujib. Saya meski sudah tua begini jangan dikira takut perang. Kita turun ke hutan lagi seperti dulu”.
Terjadi dialog panjang antara Kyai As’ad dengan Kyai Mujib yang cenderung menerima Azaz Tunggal Pancasila. Tidak ada argumen yang keluar dari Kyai Mujib kecuali langsung dijawab oleh Kyai As’ad. Ketika Kyai Mujib mengeluarkan dalil al-Quran, maka Kyai As’ad juga berdalil al-Quran, begitu pula dengan dalil hadis. Akhirnya Kyai Mujib berkata: “Kyai, lebih berat mana NU menerima Azaz Tunggal Pancasila dengan Rasulullah menerima Perjanjian Hudaibiyah?”. Sejak itulah kemudian Kyai As’ad menerima Azaz Tunggal Pancasila pada Munas Alim Ulama dan Muktamar NU di Situbondo.


Yang dimaksud oleh Kyai Mujib dengan perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah sebagai berikut:

عَنِ الْبَرَاءِ - رضى الله عنه - قَالَ لَمَّا اعْتَمَرَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى ذِى الْقَعْدَةِ ، فَأَبَى أَهْلُ مَكَّةَ أَنْ يَدَعُوهُ يَدْخُلُ مَكَّةَ ، حَتَّى قَاضَاهُمْ عَلَى أَنْ يُقِيمَ بِهَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَتَبُوا الْكِتَابَ كَتَبُوا ، هَذَا مَا قَاضَى عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ . قَالُوا لاَ نُقِرُّ بِهَذَا ، لَوْ نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ مَا مَنَعْنَاكَ شَيْئًا ، وَلَكِنْ أَنْتَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ . فَقَالَ « أَنَا رَسُولُ اللَّهِ ، وَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ » . ثُمَّ قَالَ لِعَلِىٍّ « امْحُ رَسُولَ اللَّهِ » . قَالَ عَلِىٌّ لاَ وَاللَّهِ لاَ أَمْحُوكَ أَبَدًا . فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْكِتَابَ ، وَلَيْسَ يُحْسِنُ يَكْتُبُ ، فَكَتَبَ هَذَا مَا قَاضَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ لاَ يُدْخِلُ مَكَّةَ السِّلاَحَ ، إِلاَّ السَّيْفَ فِى الْقِرَابِ ، وَأَنْ لاَ يَخْرُجَ مِنْ أَهْلِهَا بِأَحَدٍ ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يَتْبَعَهُ ، وَأَنْ لاَ يَمْنَعَ مِنْ أَصْحَابِهِ أَحَدًا ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ بِهَا . (رواه البخارى)

“Diriwayatkan dari al-Barra’, ia berkata: Ketika Nabi Saw melakukan umrah di bulan Dzulhijjah, maka penduduk Makkah menolak jika Nabi Masuk ke Makkah, hingga Nabi memberi keputusan kepada mereka untuk menetap di Makkah selama 3 hari. Ketika mereka menuliskan surat, mereka menulis: “Ini adalah keputusan Muhammad Rasulullah”. Mereka (Kafir Quraisy) berkata: “Kami tidak mengakui dengan nama ini. Andai kami tahu bahwa kau adalah utusan Allah, maka tentu kami tidak akan menghalangimu sedikitpun. Tetapi kau adalah Muhammad bin Abdullah”. Nabi Saw bersabda: “Aku adalah utusan Allah dan aku adalah Muhammad bin Abdullah”. Lalu Nabi berkata kepada Ali: “HAPUSLAH KALIMAT RASULULLAH!” Ali berkata: “Tidak. Demi Allah saya tidak akan menghapusmu selamanya”. Kemudian Rasulullah mengambil kertas perjanjian, padahal beliau tidak bisa menulis, lalu beliau menulis: “Ini adalah keputusan Muhammad bin Abdullah. Muhammad tidak akan masuk ke Makkah dengan pedang kecuali pedang yang tertutup, tidak membawa keluar seorangpun dari penduduk Madinah jika ia ingin mengikutinya, dan tidak melarang seorang pun dari sahabat Nabi jika ingin menetap di Makkah” (HR al-Bukhari)



Jelas sekali di dalam hadis ini Nabi Muhammad memerintahkan Sayidina Ali menghapus gelar formal Nabi Muhammad berupa kalimat RASULULLAH, sementara Sayidina Ali tidak mau menghapusnya, maka Nabi Muhammad sendiri yang menghapusnya. Bagi ulama di kalangan NU, hadis ini memberi pemahaman bahwa gelar formal dalam agama bukan segala-galanya yang harus dibela mati-matian. Justru tidak adanya gelar formal Islam, umat Islam bisa leluasa keluar-masuk kota Makkah, menyebarkan Islam, mengenalkan Rasulullah Saw dan sebagainya.



Demikian halnya dengan Indonesia, bagi ulama di kalangan NU, Pancasila bukan agama, oleh karenanya selamanya Pancasila tidak akan menggantikan Islam. Justru dengan NU menerima Pancasila, umat Islam di Indonesia bisa melakukan ajaran Islam kesehariannya dengan aman, tanpa rasa takut. Umat Islam juga bisa masuk ke wilayah provinsi atau kabupaten yang asalnya sama sekali tidak ada Islamnya, seperti Medan, Manado, Ambon, Papua, Timor Timur (dahulu), sehingga perlahan di daerah sana banyak yang memeluk Islam.


Berperang Atau Menerima Perjanjian Damai

Bagi di luar NU, untuk negara Indonesia dirubah dengan sistem Syariat Islam akan berani membela mati-matian, meski setelah itu akan berlanjut perang dan disintegrasi bangsa, bahkan mungkin perang saudara seperti yang terjadi di Timur Tengah. Namun bagi NU akan memilih opsi perjanjian damai, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, meski diprotes oleh Sayidina Umar bin Khattab:


عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ كُنَّا بِصِفِّينَ فَقَالَ رَجُلٌ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُدْعَوْنَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ . فَقَالَ عَلِىٌّ نَعَمْ . فَقَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ اتَّهِمُوا أَنْفُسَكُمْ فَلَقَدْ رَأَيْتُنَا يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ - يَعْنِى الصُّلْحَ الَّذِى كَانَ بَيْنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَالْمُشْرِكِينَ - وَلَوْ نَرَى قِتَالاً لَقَاتَلْنَا ، فَجَاءَ عُمَرُ فَقَالَ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ أَلَيْسَ قَتْلاَنَا فِى الْجَنَّةِ وَقَتْلاَهُمْ فِى النَّارِ قَالَ « بَلَى » . قَالَ فَفِيمَ أُعْطِى الدَّنِيَّةَ فِى دِينِنَا ، وَنَرْجِعُ وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا . فَقَالَ « يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّى رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِى اللَّهُ أَبَدًا » . فَرَجَعَ مُتَغَيِّظًا ، فَلَمْ يَصْبِرْ حَتَّى جَاءَ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَلَنْ يُضَيِّعَهُ اللَّهُ أَبَدًا . فَنَزَلَتْ سُورَةُ الْفَتْحِ (رواه البخارى)

Diriwayatkan dari Abu Wail, ia berkata: “Kami berada dalam Shiffin, ada seseorang berkata: Apakah kamu melihat orang-orang yang diajak kembali ke al-Quran. Lalu Ali menjawab: Ya”. Sahal bin Hunaif berkata: “Berprasangkalah pada diri kalian. Sungguh saya melihat diri kami dalam perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh Nabi Saw dan orang musyrikin. Jika kami berpendapat perang maka kami akan berperang. Kemudian Umar berkata: Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah? Bukankah orang yang terbunuh diantara kami ada di surga dan yang terbunuh dari mereka ada di neraka? Nabi menjawab: “Ya”. Umar berkata: “Dimanakah saya meletakkan kehinaan dalam agama kita? Dan kita kembali sebelum Allah memberi keputusan diantara kita”. Nabi Saw bersabda: “Wahai putra Khattab. Saya adalah utusan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan saya selamanya”. Umar lalu kembali dengan amarah dan tidak bisa sabar hingga ia datang kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Wahai Abu Bakar, Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah?” Abu Bakar berkata: “Wahai putra Khattab. Muhammad adalah utusan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad selamanya”. Maka turunlah surat al-Fath” (HR al-Bukhari)



Maslahat atau nilai plus yang dipilih oleh Rasulullah dalam perjanjian damai ini adalah sebagai berikut, seperti yang disampaikan oleh Imam an-Nawawi:

قَالَ الْعُلَمَاء : وَالْمَصْلَحَة الْمُتَرَتِّبَة عَلَى إِتْمَام هَذَا الصُّلْح مَا ظَهَرَ مِنْ ثَمَرَاته الْبَاهِرَة ، وَفَوَائِده الْمُتَظَاهِرَة ، الَّتِي كَانَتْ عَاقِبَتهَا فَتْح مَكَّة ، وَإِسْلَام أَهْلهَا كُلّهَا ، وَدُخُول النَّاس فِي دِين اللَّه أَفْوَاجًا ؛ وَذَلِكَ أَنَّهُمْ قَبْل الصُّلْح لَمْ يَكُونُوا يَخْتَلِطُونَ بِالْمُسْلِمِينَ ، وَلَا تَتَظَاهَر عِنْدهمْ أُمُور النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا هِيَ ، وَلَا يَحِلُّونَ بِمَنْ يُعْلِمهُمْ بِهَا مُفَصَّلَة ، فَلَمَّا حَصَلَ صُلْح الْحُدَيْبِيَة اِخْتَلَطُوا بِالْمُسْلِمِينَ ، وَجَاءُوا إِلَى الْمَدِينَة ، وَذَهَبَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى مَكَّة ، وَحَلُّوا بِأَهْلِهِمْ وَأَصْدِقَائِهِمْ وَغَيْرهمْ مِمَّنْ يَسْتَنْصِحُونَهُ ، وَسَمِعُوا مِنْهُمْ أَحْوَال النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُفَصَّله بِجُزْئِيَّاتِهَا ، وَمُعْجِزَاته الظَّاهِرَة ، وَأَعْلَام نُبُوَّته الْمُتَظَاهِرَة ، وَحُسْن سِيرَته ، وَجَمِيل طَرِيقَته ، وَعَايَنُوا بِأَنْفُسِهِمْ كَثِيرًا مِنْ ذَلِكَ ، فَمَا زَلَّتْ نُفُوسهمْ إِلَى الْإِيمَان حَتَّى بَادَرَ خَلْق مِنْهُمْ إِلَى الْإِسْلَام قَبْل فَتْح مَكَّة فَأَسْلَمُوا بَيْن صُلْح الْحُدَيْبِيَة وَفَتْح مَكَّة ، وَازْدَادَ الْآخَرُونَ مَيْلًا إِلَى الْإِسْلَام ، فَلَمَّا كَانَ يَوْم الْفَتْح أَسْلَمُوا كُلّهمْ لِمَا كَانَ قَدْ تَمَهَّدَ لَهُمْ مِنْ الْمَيْل ، وَكَانَتْ الْعَرَب مِنْ غَيْر قُرَيْش فِي الْبَوَادِي يَنْتَظِرُونَ بِإِسْلَامِهِمْ إِسْلَام قُرَيْش ، فَلَمَّا أَسْلَمَتْ قُرَيْش أَسْلَمَتْ الْعَرَب فِي الْبَوَادِي . قَالَ تَعَالَى : إِذَا جَاءَ نَصْر اللَّه وَالْفَتْح وَرَأَيْت النَّاس يَدْخُلُونَ فِي دِين اللَّه أَفْوَاجًا (شرح النووي على مسلم - ج 6 / ص 241)

“Ulama berkata: Maslahat yang timbul atas perjanjian damai ini adalah sesuatu yang tampak dari buahnya yang indah dan manfaat yang nyata, yang berujung pada penaklukan kota Makkah, dan semua penduduknya memeluk Islam dan orang-orang masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong. Sebab sebelum terjadinya perjanjian damai para penduduk Makkah tidak pernah berkumpul dengan umat Islam dan tidak tampak kepada mereka perilaku-perilaku Nabi Saw yang nyata, serta tidak ada yang menjelaskan kepada mereka secara terperinci. Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah, mereka berbaur dengan umat Islam, mereka datang ke Madinah dan umat Islam berkunjung ke Makkah. Mereka berkumpul bersama keluarga, kawan dan lainnya. Mereka mendengar dari para sahabat tentang perilaku Nabi secara mendetail, mukjizat yang nyata, tanda kenabian yang jelas, kepribadian yang bagus, perilaku yang indah dan mereka sering menyaksikan secara langsung. Maka hati mereka mulai condong pada iman hingga banyak dari mereka bergegas dalam Islam sebelum penaklukan kota Makkah. Maka mereka telah masuk Islam antara perjanjian damai Hudaibiyah dan penaklukan Makkah. Orang yang lain pun bertambah condong ke dalam Islam. Ketika hari penaklukan kota Makkah, maka mereka telah masuk Islam semua, sebab mereka telah memiliki bekal terhadap Islam. Sementara orang Arab yang di pedalaman selain Quraisy, mereka masih menunggu orang Quraisy masuk Islam. Dan ketika orang Quraisy masuk Islam maka orang-orang Arab pedalaman masuk Islam. Allah berfirman: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong” (Syarah Muslim, Imam Nawawi 6/241)



Dengan demikian, 4 Pilar kebangsaan yang telah dinyatakan final oleh NU sebagai langkah wujudnya perdamaian di Indonesia baik antar pulau, suku dan agama, telah sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. Namun bagi aliran yang berseberangan dengan NU, yang sebenarnya mereka belum merasakan derita jika suatu negara telah terjadi perang agama atau perang saudara tidak akan bisa pulih dalam waktu cepat, dan mereka belum tahu mahalnya sebuah kedamaian, maka mereka pun akan tetap maju menyuarakan harapannya. Disinilah mereka akan berhadapan dengan NU.

(Bersambung)

Sumber : http://www.muslimoderat.net/2015/11/alasan-para-ulama-nu-tidak-menerapkan.html#ixzz5izzDhF2w

0 comentários:

Teror Mati Jahiliyah ala HTI dan ISIS


Oleh: Ayik Heriansyah*
Teror mati jahiliyah sering kali dilancarkan oleh HTI dan ISIS kepada umat Islam yang tidak turut memperjuangkan berdirinya Khilafah seperti yang mereka inginkan. Psikologis kalangan awam sedikit tertekan mendengar penjelasan hadits Nabi SAW tentang mati jahiliyah karena mereka takut mati dalam keadaan su’ul khatimah. Siapa pun takut akhir hidupnya sia-sia, belum lagi bayangan siksa kubur dan azab neraka sudah di depan mata bagi mereka yang mati jahiliyah.
Pemahaman sederhana kaum awam dimanfaatkan oleh HTI dan ISIS untuk memperkuat posisi mereka, melegitimasi perjuangan penegakan Khilafah sebagai perjuangan yang haq melawan sistem jahiliyah tudingan jahiliyah bagi kaum muslim yang berdiam diri apalagi bagi yang menghalangi dakwah mereka.
Istilah mati jahiliyah diambil dari hadits Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةِ اللهِ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَحُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat dengan tanpa mempunyai hujah. Dan, siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya tidak terdapat baiat, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR Muslim)
Oleh HTI hadits ini dijadikan dalil untuk mewajibkan umat mendirikan Khilafah sebelum datangnya Iman Mahdi. Menurut Ust Hafidz Abdurrahman (DPP HTI) manthuq hadits di atas menyatakan, bahwa “Siapa saja yang mati, ketika Khilafah sudah ada, dan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” Atau “Siapa yang mati, ketika Khilafah belum ada, dan dia tidak berjuang untuk mewujudkannya, sehingga di atas pundaknya ada baiat, maka dia pun mati dalam keadaan mati jahiliyah.” Karenanya, kewajiban tersebut tidak akan gugur hanya dengan menunggu datangnya Imam Mahdi. (Channel Telegram #KhilafahWillRise, 23 / 8 / 2017)
Syarah gegabah terhadap hadits Nabi saw tentang mati jahiliyah oleh Ust Hafidz Abdurrahman tidak lebih dari ungkapan nafsu HTI yang ingin mendirikan Khilafah versi mereka tanpa memperhatikan hadits lain yang memperjelas makna baiat, baiat kepada siapa? Baiat in’iqad (pengangkatan) atau baiat taat?
Ibn Abu Asim di dalam kitab al-Sunnah, halaman 489 meriwayatkan hadits ini:
من مات وليس عليه إمام مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang mati tanpa memiliki imam, maka matinya adalah mati jahiliyah.
Ibn Hibban juga meriwayatkan di dalam Sahihnya, jilid 7 halaman 49:
من مات بغير إمام مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa mati tanpa Imam, matinya adalah mati jahiliyah.”
Konteks baiat dalam hadits-hadits tadi adalah baiat taat kepada Imam yaitu pemimpin politik umat secara umum tanpa pengkhususan. Sebagai pemimpin politik umat keabsahan seorang imam ditentukan oleh keterpilihan dan pengangkatannya secara bebas tanpa paksaan oleh umat. Jadi makna baiat di sini adalah taat kepada pemimpin politik yang telah dipilih dan diangkat oleh umat dengan ridha wal ikhtiar tanpa melihat spesifikasi bentuk negara dan sistem pemerintahannya. Oleh karena itu hadits tentang mati jahiliyah bisa diaplikasi di negara Muslim mana pun termasuk Indonesia.
Di NKRI seseorang bisa mati jahiliyah jika tidak taat kepada pemimpin politik di setiap jenjangnya: presiden, gubernur, walikota, bupati,  RW dan ketua RT. Tentu saja ketaatan bersyarat bukan ketaatan absolut karena ketaatan absolut hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Taat atau maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya jadi sabab dan syarat ketaatan kepada pemimpin politik. Sepanjang perintah pemimpin politik bukan sesuatu yang diyakini maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka umat wajib mentaatinya. Termasuk perkara khilafiyah yang ditetapkan oleh imam karena ketetapan perintah imam menghilangkan perbedaan berdasarkan kaidah fiqih:
حكم الحاكم يرفع الخلاف
Kadangkala seorang imam lupa, keliru, atau karena faktor kejahilan, ia mengikuti hawa nafsu atau tekanan pihak luar. Maka ,umat diwajibkan mengawasi, memantau, memonitor dan mengontrol imam kemudian menasihati dan mengoreksinya dengan cara yang ma’ruf agar sang imam kembali ke jalan yang lurus.
Hadits-hadits tentang mati jahiliyah ditujukan kepada umat yang tidak mau taat kepada imam sebagai pemimpin politik. Sejak kepemimpinan Nabi SAW di Madinah, di negeri-negeri Islam umat selalu memiliki pemimpin politik dengan berbagai bentuk negara dan sistem pemerintahan. Mati jahiliyah tidak terkait dengan bentuk negara dan sistem pemerintahan melainkan berhubungan dengan sikap taat atau tidak terhadap pemimpin politik umat secara de facto dan de jure.
Jadi sebenarnya berdasarkan pemahaman yang jernih tentang hadits mati jahiliyah, siapa sesungguhnya yang akan mati jahiliyah, aktivis HTI yang tidak mengakui dan tidak taat kepada imam di negara-negara Muslim, ataukah umat di luar mereka?
*Penulis adalah mantan Ketua HTI Babel 2004-2010.
Sumber : //www.harakatuna.com/teror-mati-jahiliyah-ala-hti-dan-isis.html
#Muslimsejati

0 comentários:

Penembakan di Selandia Baru: Terorisme atau Penembakan Massal?

tirto.id - Jumat, 15 Maret 2019 akan dikenang sebagai sejarah kelam di Selandia Baru. Hari itu, di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood di kota Christchurch, penembakan brutal terjadi kepada para jamaah yang hendak menunaikan salat Jumat. 

Pelaku teror yang teridentifikasi bernama Brendon Tarrant tersebut adalah warga Australia berusia 28. Saat melakukan aksinya, ia sempat menyiarkan melalui media sosial selama 17 menit.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern kaget mendengar peristiwa penembakan massal yang menewaskan 49 orang tersebut.


“Apa yang terjadi di sini adalah tindakan kekerasan yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Ardern.

Ardern pun mengatakan bahwa migran dan pengungsi mungkin terkena dampak dari penembakan paling mematikan dalam sejarah Selandia Baru modern itu.

“Jelas, ini adalah serangan teroris,” tegas Jacinda Ardern seperti dikutip AP News.


Saat melakukan penembakan di Masjid Al-Noor, pelaku menyiarkan amarahnya dan menyalakan kamera sesaat sebelum melakukan penembakan. Dalam manifesto online sebanyak 74 halaman itu, pelaku menyebut dirinya sebagai “orang kulit putih biasa”, dilahirkan “dari kelas pekerja, keluarga berpenghasilan rendah yang memutuskan mengambil sikap untuk memastikan masa depan bagi rakyat saya.”

Perdana Menteri Australia Scott Morrison membenarkan bahwa salah satu tersangka yang ditahan adalah warganya. Morrison menyebut pelaku sebagai teroris ektremis, “sayap kanan, dan kejam.”

Framing Penembakan dan Terorisme

Beberapa saat setelah aksi, mesin analisis media sosial Drone Emprit merilis data tentang framingpublik dan media terhadap peristiwa tersebut, dengan menyaring kata “Terrorist” dan “Shooting”. Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi menyampaikan analisis itu ia lakukan untuk mengetahui respons publik setelah kejadian.

Fahmi membeberkan, mulanya Drone Emprit menggunakan kata kunci ‘New Zealand’ dan menyaring percakapan di Twitter berdasarkan kata kunci yang dikategorikan sebagai ‘Shooting’ dan ‘Terrorist’. Dalam analisis tersebut, Fahmi juga memasukkan kata “shooting, shootings, shoot” untuk “shooting” dan kata “terrorist, terror, terrorists, terrorism” untuk “terrorist”.

“Data kemarin simpel saja, itu masih beberapa jam, jadi sebetulnya tidak lengkap, belum masif. Saya pengin tahu dulu respons sesaat hasilnya kayak gitu. Total retweet itu lebih menunjukkan publik. Kemudian saya pilih itu dari SNA (Social Network Analysis), mana yang paling banyak menggunakan. Ternyata pada jam itu banyak yang menggunakan ‘Shooting’ daripada ‘Teroris’,” ujar Ismail Fahmi kepada Tirto, Sabtu (16/3/2019).

Dalam analisis tersebut, Fahmi berasumsi bahwa seluruh percakapan warganet di Twitter tentang New Zealand membicarakan tentang tragedi penembakan.

Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, penduduk Twitter cenderung menyebut serangan ini karena kelakuan terrorist. Sejak Jumat, 15 Maret 2019, pukul 14.00 sampai 18.00, jumlah mention di Twitter terhadap kata “Shooting” sebanyak 25.384 dan kata “Terrorist” sebanyak 39.511.


Namun hasil tersebut berbanding terbalik dengan peta Social Network Analysis (SNA) yang menggabungkan dua kategori percakapan. Media cenderung menyebut kejadian itu sebagai peristiwa “Shooting”.

“Artinya kita tahu ada media-media yang cenderung menggunakan ‘shooting’. Bisa jadi dia pakai 'terrorist’, tapi tidak mendapat banyak retweet gitu. Dan ini yang kemudian saya pakai untuk melihat data kemarin,” ungkap Fahmi.

Setelah dua hari, Drone Emprit kembali merilis analisis data percakapan di Twitter, dan menemukan bahwa 70 persen (460.366) percakapan mengatakan bahwa kejadian itu adalah serangan “terrorist” dan 30 persen (197.529) sisanya menyebut bahwa kejadian tersebut adalah “shooting”.

Tak hanya itu, Drone Emprit juga mengkaji engagements antara orang-orang yang berpengaruh di jagat Twitter dengan pengguna Twitter. Pada kata ‘terrorist', akun @iyliasyazwanie, @HillaryClinton, @captnlavi, @DanCrenshawTX, dan @_SJPeace_ memiliki engagements terbanyak. Sedangkan pada kata ‘shooting’, akun @yazanqandel22, @ajplus, @BBCWorld, @JustinTrudeau, dan @FLOTUS mempunyai engagements teratas.

Penembakan Massal dan Terorisme

Kejadian penembakan dengan korban jiwa yang tak sedikit bukan sekali ini saja terjadi. Di pengujung 2018, misalnya, Guardian mengabarkan tentang seorang pria yang secara brutal menembaki orang yang berada di dekat pasar malam Natal di Strasbourg, Perancis. Kejadian tersebut menewaskan 3 orang dan melukai 12 orang.

Di awal 2018, New York Times pernah memberitakan seorang bernama Nikoas Cruz melepaskan peluru pada sebuah sekolah di Parkland, Florida, AS. Peristiwa berdarah itu menghilangkan nyawa 17 orang.

Tapi kapan sebuah peristiwa disebut penembakan massal atau terorisme?

Seorang pengacara bernama Page Pate pernah membuat opini yang dipublikasikan di CNN. Dalam opini tersebut dia membahas tentang batasan sebuah kasus penembakan massal disebut terorisme.

Pate menyebutkan peristiwa penembakan di San Bernardino dan Colorado Springs yang mematikan banyak orang sebagai contoh. Saat itu, banyak orang bertanya-tanya, kapan penembakan massal disebut sebagai aksi terorisme. Tentu saja hal tersebut mengundang perdebatan publik.


Perdebatan itu juga pernah diangkat New Yorker dalam artikel berjudul “Why We Should Resit Calling The Las Vegas Shooting ‘Terrorism’”. Dalam artikel tersebut, Masha Gessen, seorang penulis di New Yorker yang juga menulis lebih dari 10 judul buku, memaparkan bahwa setiap insiden penembakan terjadi, publik pasti akan menunggu pernyataan yang dikeluarkan negara. Apakah kejadian itu disebut “terorisme” atau “penembakan massal”.

Dalam artikel tersebut, Gessen mengatakan bahwa tidak ada definisi tunggal terkait terorisme. Namun, Ilmuwan politik Irlandia Louise Richardson telah menetapkan tujuh karakteristik utama dari aksi teroris: terinspirasi oleh politik; disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; bertujuan mengirim pesan daripada mengalahkan musuh; memiliki makna simbolis; dilakukan oleh “kelompok substate” daripada aktor negara; para korban kekerasan berbeda dari audiens yang disampaikan oleh teroris; dan tindakan tersebut menargetkan warga sipil.

Infografik Teror Christchurch


Pate kemudian menjelaskan tentang definisi terorisme di bawah hukum federal AS. Suatu kejadian bisa dikatakan sebagai terorisme ketika tindakan tersebut merupakan kekerasan. Tentu saja syarat itu bisa dipenuhi dalam kasus penembakan yang terjadi di Selandia Baru. Apalagi kejadian Jumat siang tersebut membuat puluhan jiwa melayang.

Syarat kedua adalah kejahatan itu dimaksudkan untuk memunculkan rasa takut kepada penduduk sipil atau pemerintah dengan cara tertentu. Kejadian penembakan massal tentu saja memunculkan ketakutan, tapi dalam aksi terorisme, ketakutan itu tak hanya dirasakan oleh orang-orang di sekitar lokasi, tapi juga para penduduk sipil.

Namun, dalam hal ini terorisme tak ada kaitannya dengan jumlah orang yang meninggal. Selain itu, dalam aksi teror, tak banyak pelaku yang membeberkan maksud dan motivasi dari insiden yang mereka ciptakan. Syarat terakhir terorisme berkaitan dengan ideologi.

Frederic Lemieux, akademikus dari Georgetown University, dalam artikel berjudul “What is Terrorism? What Do Terrorists Want?” yang diunggah  The Conversation, Lemieux menyebutkan bahwa terorisme adalah taktik yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Kekerasan yang mereka lakukan bertujuan untuk menciptakan rasa takut pada populasi sasaran dan kerap memicu tanggapan keras dari sebuah negara.

Dalam memikirkan aksinya, teroris seringkali membenarkan tindakan berdarahnya dengan persepsi soal ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik yang mereka yakini. Ada pula yang diinspirasi oleh keyakinan religius atau prinsip spiritual tertentu.

Maka, masuk akal jika Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyebut kejadian Jumat, 15 Maret 2019 siang itu sebagai aksi terorisme. Selain karena pelaku telah merencanakan aksi dengan matang, Brendon Tarrant meninggalkan 74 halaman manifesto anti-imigran di media sosial setelah serangan tersebut. Melalui akun media sosialnya itu pula ia mengaku sebagai seorang rasis.

Penulis: Widia Primastika
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Source : tirto.id

0 comentários: